Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, I Wayan Sudirta mengatakan, keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi untuk kedua tokoh ini adalah hak prerogatif presiden yang harus dijaga dalam koridor konstitusi.
Menurut Sudirta, dalam negara hukum yang demokratis, keduanya bukanlah bentuk impunitas, tetapi saluran korektif atas sistem peradilan yang bisa saja tidak sempurna. “Oleh karenanya, penggunaan hak prerogatif Presiden ini harus dijaga agar tetap dalam koridor konstitusi dan etika publik. Politik kekuasaan dan hukum saling berinteraksi, namun kedewasaan dan pemikiran yang realis dan logis perlu untuk dikedepankan,” ujar Sudirta dalam keterangannya di Denpasar, Sabtu (2/8).
“Dalam hal ini, kita boleh berpendapat bahwa Presiden, walaupun memiliki hak prerogatif yang diatur dalam konstitusi, tidak serta merta memiliki kewenangan secara mutlak untuk melakukan semacam intervensi terhadap sistem peradilan dan penegak hukum,” imbuh Sudirta.
Menurut Sudirta, prinsip check and balances dan saling menghormati antar-lembaga tetap ada dan diatur secara jelas. Kata dia, Presiden tetap membutuhkan pertimbangan DPR atau bahkan MA dalam hal pemberian grasi dan rehabilitasi. Dengan begitu, aturan yang ada tentang pemberian abolisi dan amnesti ini telah menegasikan kesewenangan atau intervensi penuh dari Pemerintah terhadap sistem penegakan hukum.
Dengan adanya mekanisme pertimbangan tersebut, Presiden justru menghormati proses hukum dan mendukung penuh program penegakan hukum khususnya tindak pidana korupsi. Presiden dan DPR kemudian hanya menjadi jalan untuk mewujudkan kepentingan nasional dan keadilan sosial yang hidup dalam masyarakat.
“Pemberian abolisi dan amnesti ini dapat pula dibaca sebagai jalan untuk memberi koreksi terhadap hasil sistem penegakan hukum. Ketika terjadi sebuah kekeliruan atau kekosongan hukum dan dimana sistem peradilan dan penegakan hukum tidak mampu untuk mengimplementasi sebuah keadilan sosial-politik, amnesti dan abolisi menjadi jalan untuk meluruskan jalan untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, stabilitas politik dan hukum, serta mengedepankan prinsip HAM dan kemanusiaan,” beber alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta ini.
Sudirta menegaskan, sistem hukum harus dapat menyeimbangkan tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Selain itu semangat dalam merestorasi atau mewujudkan keadilan yang restoratif, restitutif, rehabilitatif, dan substantif dapat diwujudkan dalam mekanisme atau tindakan hukum yang luar biasa.
“Kita boleh saja melihat bahwa dunia hukum dan demokrasi kita belum sepenuhnya dapat terlaksana dengan sempurna. Namun kini kita setidaknya telah teruji dengan kedewasaan politik dan kekuasaan, responsivitas terhadap keinginan masyarakat, dan instrumen hukum yang demokratis dan restorative.
Sehingga menjadi fundamental, mampu untuk menjadi dewasa secara politik yang mengakui segala kelemahan dan kekurangan untuk maju bersama,” tegas advokat senior itu.