Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, mengritik penanganan kasus narkotika dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang dinilai belum mampu membedakan secara jelas antara pengguna dan bandar narkoba.
Menurutnya, hal ini menjadi faktor utama yang menyebabkan kepadatan tinggi di lembaga pemasyarakatan (Lapas) di seluruh Indonesia.
Dalam kunjungan kerja spesifik Komisi III DPR RI ke Polda Jawa Timur, Sudirta menyampaikan bahwa pendekatan terhadap kejahatan narkotika harus dibedakan dengan lebih tegas, antara pengguna yang harus direhabilitasi dan bandar yang harus dihukum berat.
Ia mengungkapkan bahwa hal ini akan membantu mengurangi kepadatan Lapas yang terus meningkat akibat pengguna narkoba yang dipenjara tanpa mendapatkan rehabilitasi.
“Pengguna narkoba seharusnya direhabilitasi, bukan dipenjara. Sementara itu, bandar dan pengedar besar harus dihukum berat, bahkan hukuman mati. Dua pendekatan ini terbukti berhasil di negara-negara seperti Portugal,” ujar Sudirta di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (18/9) lalu.
Politisi dari Fraksi PDI-Perjuangan ini juga menegaskan bahwa penjara bukanlah solusi yang tepat untuk pengguna narkoba. Ia menilai bahwa pengguna adalah korban dari jaringan narkotika dan seharusnya mendapatkan pemulihan melalui rehabilitasi, bukan hukuman pidana.
Sebaliknya, bandar narkoba yang terlibat dalam perdagangan gelap narkotika harus diberikan hukuman yang lebih berat untuk menimbulkan efek jera.
Sudirta mengutip contoh keberhasilan negara-negara Eropa, seperti Portugal, yang telah menerapkan model dekriminalisasi untuk pengguna narkoba dan lebih memfokuskan pada rehabilitasi serta pemberantasan jaringan pengedar dan bandar narkoba.
Ia menyarankan agar Indonesia bisa mengadopsi model ini guna mengurangi angka pengguna narkoba dan menurunkan tingkat kepadatan Lapas.
“Jika dua pendekatan ini diterapkan secara serius, penjara bisa kosong. Di Eropa, beberapa penjara bahkan sudah tidak lagi dipenuhi oleh narapidana narkoba,” tambahnya.
Sudirta juga mengkritik kebijakan penegakan hukum di Indonesia yang dinilai masih belum konsisten dalam membedakan pengguna dan bandar narkoba.
Ia menyatakan bahwa banyak kasus di mana pengguna narkoba dijerat dengan pasal berat yang seharusnya hanya diterapkan pada bandar, yang berujung pada overkapasitas di Lapas.
“Kita harus bisa membedakan antara pengguna yang bisa direhabilitasi dan bandar yang harus dihukum berat. Jika ini tidak dilakukan, upaya pemberantasan narkoba di Indonesia akan terus gagal,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sudirta mendukung penggunaan pendekatan berbasis restorative justice untuk kasus narkoba, terutama bagi pengguna dengan kadar rendah atau pemakaian pribadi.
Menurutnya, kebijakan ini dapat membantu menciptakan keseimbangan antara keadilan dan kemanusiaan dalam penanganan kasus narkotika.
“Restorative justice bukan hanya untuk pencurian ringan, tetapi juga bisa diterapkan untuk penyalahgunaan narkoba oleh individu. Rehabilitasi adalah jalan tengah antara keadilan dan kemanusiaan,” pungkasnya.
Kunjungan kerja Komisi III DPR RI ke Polda Jatim ini merupakan bagian dari agenda evaluasi terhadap berbagai permasalahan hukum di daerah, serta penyerapan aspirasi terkait penyusunan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang baru. Isu mengenai narkoba dan overkapasitas Lapas menjadi salah satu fokus utama dalam pembahasan tersebut.