Ikuti Kami

Bawaslu Rasa Oposisi, Henry Yoso: Harus Dievaluasi

Kalau memang cinta bangsa ini & akan terjadi pertumpahan darah kalau dibiarkan aparat hukum, apakah masih harus melanjutkan tagar tersebut?

Bawaslu Rasa Oposisi, Henry Yoso: Harus Dievaluasi
Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan H. KRH. Henry Yosodiningrat, SH. MH saat menjadi Juru Kampanye Nasional Jokowi-JK di Pilpres 2014

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan KRH. Henry Yosodiningrat menilai Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) harus dievaluasi kinerjanya belakangan ini yang tidak jelas peran dan fungsinya. Dan publik melihat integritas Bawaslu semakin menurun akibat beberapa kebijakannya yang tidak jernih.

"Saya terkaget-kaget ketika mendengar penjelasan dari Bawaslu. Saya gak kebayang kalau apa yang disampaikan Bawaslu tadi, padahal sudah jelas masyarakat ada yang berkomentar: Bawaslu makin ke sini kok semakin rasa oposisi? Dan saya lihat Bawaslu belakangan ini integritasnya semakin turun di mata publik. Bawaslu itu dibentuk dan anggarannya besar sekali. Saya Komisi II dan mitra Bawaslu. Jadi tahu persis," ungkap Henry dalam sebuah program talkshow di televisi, Jumat (31/8) malam. 

Lebih lanjut dikatakan Henry, Bawaslu ketika dia menjalankan tugasnya, nyaris tidak berfungsi dan tidak berperan. Bahkan kalau kita biarkan, kata dia, hastag ini dibilang tidak melanggar oleh Bawaslu. Kemudian aparat penegak hukum juga nanti membiarkan padahal sudah jelas penolakan dimana-mana.

"Bangsa kita malu. Mereka pasang di Tanah Suci (spanduk bertuliskan hastag tersebut) ketika orang sedang beribadah menunaikan ibadah haji. Itu menurunkan moral dan bangsa kita sendiri dipermalukan. Bawaslu tutup mata. Saya minta Bawaslu jernih berpikir, ketika melihat masyarakat kita sudah tercabik, nyaris terjadi pertumpahan darah dimana-mana. Ketika ada deklarasi tagar tersebut, Bawaslu mengatakan, 'Biarin aja. Gak melanggar kok' Tapi norma yang sudah dilanggar. Kalau sekadar etika politik itu gak apa-apa. Tapi ini norma politik. Saya melihat Bawaslu harus dievaluasi kalau seperti ini," kesal Henry. 

Terkait menteri curi start kampanye, Henry menilai, kalau baca aturannya: Peserta pemilu itu adalah partai politik atau gabungan partai politik, atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu.

"Menteri bukan partai politik dan bukan pula orang yang ditunjuk oleh partai politik baik selaku juru bicara maupun sebagai tim sukses. Karena itu, apa yang dilakukan menteri, tidak boleh dikatakan curi start kampanye," urai Henry Yosodiningrat.

Henry menanggapi, tagar 2019 Ganti Presiden, adalah gerakan setengah-setengah antara malu atau takut tidak menyebut nama capresnya.

"Tagar itu mengandung dua makna, pertama, hantu saja sudah tahu, hanya ada dua pasangan capres: Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga. Artinya kalau 2019 Ganti Presiden, Jokowi tidak boleh terpilih lagi, tapi pilihlah pasangan yang ini: Prabowo," imbuhnya. 

Makna lainnya, masih kata Henry, bahwa per tanggal 1 Januari 2019, tidak mengakui presiden yang masih sah menurut Undang-Undang.

"Karena kepemimpinan Jokowi sampai dengan terpilihnya presiden yang baru, apakah Jokowi lagi atau Prabowo hingga diambil sumpahnya oleh Ketua Mahkamah Agung," urainya.

Kemudian yang kedua, lanjut Henry, dengan kalimat ganti presiden ini bisa membingungkan rakyat. Apakah ganti presiden bukan lagi sebagai presiden tapi dengan Khalifah atau apa namanya. Ataukah ganti presiden, orang ini harus diganti dengan yang ini.

"Jika dikatakan Bawaslu tidak ada aturan yang dilanggar, patokan kita di dunia ini bukan Bawaslu terkait dengan hastag ini. Disadari atau tidak, terjadi penolakan disana sini. Kalau kita memang cinta terhadap bangsa ini, sudah terjadi pertumpahan darah kalau dibiarkan oleh aparat hukum, apakah ini masih harus kita lanjutkan? Dimana letak kecintaan terhadap bangsa?" cetus Henry.

Quote