Jakarta, Gesuri.id - Sejumlah kelompok aktivis reformasi tahun 1998 memberi pernyataan sikap atas wacana pemberian gelar pahlawan bagi Presiden ke-2, Soeharto.
Mereka menolak keras pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, serta menuntut negara menjaga integritas dalam proses pemberian gelar pahlawan.
Pernyataan sikap ini disampaikan para aktivis 98 saat berkumpul di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta pada Sabtu (24/5/2025). Kelompok aktivis ini terdiri dari Repdem, Pena 98, Barikade 98, FK ’98, Gerak 98, dan Perhimpunan Aktivis 98.
Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Demokrasi Harus Dirawat Dengan Baik!
"Mendesak Pemerintah untuk menjaga integritas proses pemberian gelar. Mengajak publik untuk terus mengedukasi generasi muda tentang sejarah kelam Orde Baru," kata aktivis 98 dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wanto Sugito.
Ketua Umum Repdem ini menegaskan bahwa Soeharto adalah simbol kekuasaan represif dan pelanggar hak asasi manusia.
“Soeharto bukan pahlawan. Ia adalah simbol kekuasaan represif dan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Wanto.
Wanto kemudian menjabarkan berbagai peristiwa kelam selama kekuasaan Soeharto, antara lain pembantaian massal pasca tahun 1965 yang menewaskan ratusan ribu jiwa.
Kemudian, tragedi Tanjung Priok tahun 1984 dan Talangsari tahun 1989, pembunuhan aktivis buruh Marsinah di tahun 1993, penggusuran paksa warga Kedung Ombo, penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997–1998.
Baca: Hadir di Pengadilan Tipikor, Ganjar Suntik Semangat ke Hasto
Lalu penembakan mahasiswa dalam Peristiwa Trisakti dan Semanggi, terjadinya pembungkaman pers dan pelarangan partai oposisi, kasus Kudatuli pada 27 Juli 1996), operasi Petrus tahun 1982–1985 yang diduga menewaskan lebih dari 10.000 orang.
Wanto menyebut upaya pemberian gelar pahlawan sebagai bentuk penghinaan terhadap para korban dan pengkhianatan terhadap semangat reformasi.
"Sejarah tak boleh dibelokkan. Luka rakyat tak boleh dikubur diam-diam. Hanya satu kata, lawan!" katanya.