Ikuti Kami

Anwar Saragih: Banjir di Sumatera Bukan Lagi Bencana Alam, tetapi Bencana Ekologis akibat Kebijakan Lama

Fujiko F. Fujio dalam komik Doraemon tahun 1969, tentang kerusakan lingkungan akibat ulah manusia: kini sedang benar-benar terjadi.

Anwar Saragih: Banjir di Sumatera Bukan Lagi Bencana Alam, tetapi Bencana Ekologis akibat Kebijakan Lama
Peneliti Lingkungan Hidup Anwar Saragih - Foto: DPP PDI Perjuangan

Jakarta, Gesuri.id – Peneliti Lingkungan Hidup Anwar Saragih menegaskan bahwa banjir besar yang melanda Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat belakangan ini bukan lagi dapat dikategorikan sebagai bencana alam, melainkan bencana ekologis. Hal itu ia sampaikan dalam Seminar Nasional Hari Antikorupsi Sedunia di Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Selasa (9/12).

Anwar mengawali presentasinya dengan menyebutkan bahwa apa yang diprediksi Fujiko F. Fujio dalam komik Doraemon tahun 1969, tentang kerusakan lingkungan akibat ulah manusia: kini sedang benar-benar terjadi. “Kepunahan, perubahan iklim, dan kerusakan ekologi bukan lagi fiksi. Kita sedang mengalaminya,” ungkapnya.

Menurut Anwar, 18 dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara kini rutin mengalami banjir dan longsor. Kawasan penting seperti Taman Nasional Gunung Leuser, yang merupakan satu-satunya habitat alami tempat badak, gajah, harimau, dan orangutan hidup berdampingan, mengalami kerusakan serius.

“Seperlima hutan di Kabupaten Langkat rusak akibat perkebunan, alih fungsi lahan, dan aktivitas ilegal. Kerusakan di Leuser itu menjalar hingga mempengaruhi banjir di Langkat, Binjai, dan Karo,” jelasnya.

Ia juga menyoroti banjir di Kota Medan yang tidak dapat dipisahkan dari kerusakan hulu Sungai Deli di Kabupaten Karo dan Simalungun. Sementara banjir di kawasan Mandailing Natal dan ekosistem Batang Toru menunjukkan pola kerusakan yang sama.

Anwar menilai kondisi ini sebagai akumulasi kebijakan masa lalu yang membuka keran eksploitasi alam besar-besaran. Merujuk teori Ekologi Politik Raymond Bryant (1997), ia menyebut empat aktor utama perusak lingkungan: negara, korporasi, LSM sebagai kelompok penekan yang tidak cukup kuat, dan masyarakat akar rumput sebagai pihak yang justru menanggung bencana.

“Sejak era 1967 ketika UU Penanaman Modal Asing dibuka, jutaan hektare hutan Indonesia diberikan kepada tambang, sawit, dan perkebunan monokultur. Hasilnya: kerusakan ekologis yang kita tanggung hari ini,” tegasnya.

Anwar menekankan bahwa efek kerusakan lingkungan tidak hanya terlihat dari kerugian material, tetapi juga penderitaan manusia. Ia mengutip pengalamannya meneliti pengungsian erupsi Gunung Sinabung, di mana perempuan dan anak-anak kesulitan mendapatkan makanan, obat, hingga kebutuhan mendasar seperti pembalut. Kekerasan seksual pun meningkat dalam situasi darurat.

“Di balik angka kerugian negara, ada manusia—terutama perempuan dan anak—yang menjadi korban terbesar,” jelasnya.

Ia lalu menyerukan penerapan paradigma ecocentric, yaitu kebijakan yang mendahulukan kebutuhan alam, bukan hanya kepentingan manusia. Anwar memberi contoh kebijakan Presiden Megawati tahun 2002 yang menolak ekspor pasir laut dan menerapkan moratorium penebangan hutan, sebagai bentuk keberpihakan pada pemulihan ekologi.

“Alam harus diberi waktu bernapas. Kalau tidak, bencana ekologis akan semakin sering terjadi,” pungkasnya.

Quote