Jakarta, Gesuri.id - Pernyataan Ketua Harian Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ahmad Ali, yang menuduh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak memberikan penghargaan yang layak kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), adalah narasi yang menyesatkan, dangkal, dan sarat motif politik murahan.
Tuduhan yang dilemparkan ini seolah-olah PSI adalah pembela sejati martabat Jokowi. Padahal, tindakan ini hanyalah upaya taktis untuk mengail popularitas di tengah keretakan hubungan antara Jokowi dan PDI Perjuangan, sekaligus menutupi rontoknya idealisme yang pernah mereka gembar-gemborkan.
Klaim Ahmad Ali bahwa karier politik Jokowi sepenuhnya karena dukungan rakyat dan bukan karena PDI Perjuangan adalah bentuk dekonstruksi sejarah yang tidak bertanggung jawab. Mari kita jujur dengan tegas, siapa yang membuka pintu politik bagi Jokowi? Jawabannya adalah PDI Perjuangan.
Kesaksian Sejarah, Bukan Fiksi
Sejak wali kota, gubernur, hingga presiden, Jokowi tidak dapat dipisahkan dari peran PDI Perjuangan. Ia pertama kali duduk di kursi Wali Kota Solo pada tahun 2005. Ia diusung dan didukung penuh oleh PDI Perjuangan.
Tanpa mesin politik, logistik, dan legitimasi dari PDI Perjuangan, langkah awal tersebut mustahil terwujud. Kemudian, di tahun 2012, PDI Perjuangan membawanya ke Jakarta. Puncak kekuasaan, dua periode sebagai Presiden, adalah manifestasi dari penugasan dan dukungan total PDI Perjuangan. Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dengan segala otoritasnya dan sepenuh hati dalam langkah politiknya memuluskan jalan Jokowi menuju Istana.
Selain itu, ada penghargaan konkret dengan membuka jalan untuk Gibran. Bahkan, argumentasi PSI semakin lemah ketika kita melihat perlakuan PDI Perjuangan terhadap keluarga inti Jokowi. Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, dicalonkan sebagai Wali Kota Solo oleh PDI Perjuangan. Ini adalah bentuk penghargaan dan keberlanjutan regenerasi politik yang diberikan oleh partai.
Menuduh PDI Perjuangan tidak menghargai Jokowi setelah memberikan panggung politik kepada anak kandungnya adalah tuduhan yang paling tidak etis dan hanya menunjukkan kegagalan PSI dalam membaca peta politik secara utuh. Mengatakan bahwa PDIP tidak menghargai Jokowi sama saja dengan menafikan investasi politik, sumber daya, dan sejarah yang telah diletakkan PDI Perjuangan selama hampir dua dekade. PSI harus berhenti dan agak tau diri dari upaya cuci tangan sejarah ini.
PDI Perjuangan Taat Konstitusi, PSI Mencari Sensasi
Pernyataan Ahmad Ali bahwa PDI Perjuangan menjadikan Jokowi sebagai “alat politik” dan tidak menghargai potensi jangka panjangnya adalah tuduhan yang sengaja mengabaikan prinsip fundamental PDI Perjuangan: ketaatan terhadap konstitusi.
Keretakan hubungan antara Jokowi dan PDI Perjuangan mencapai puncaknya bukan karena masalah penghargaan personal, melainkan karena perbedaan pandangan mendasar terkait isu tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Saat wacana perpanjangan masa jabatan dan penundaan Pemilu mencuat, PDI Perjuangan mengambil sikap tegas: menolak mentah-mentah. Penolakan ini adalah bukti bahwa PDI Perjuangan, sebagai partai ideologis dan partai pemenang pemilu, menempatkan konstitusi dan demokrasi di atas kepentingan politik pragmatis personal, bahkan kepentingan kader terbaiknya sendiri.
Apakah bagi PSI, "penghargaan" yang layak bagi seorang presiden adalah dengan mengangkangi konstitusi demi melanggengkan kekuasaan? Jika demikian, sungguh berbahaya definisi penghargaan yang dianut oleh PSI.
PDI Perjuangan justru telah menunjukkan sikap negarawan yang patut dipuji, memegang teguh batas-batas konstitusi yang telah disepakati, meskipun hal itu berkonsekuensi pada keretakan dengan kader yang pernah mereka besarkan. Inilah penghargaan tertinggi bagi demokrasi Indonesia, bukan bagi satu individu.
Gugurnya Idealisme Anak Muda
Di awal kemunculannya, PSI hadir dengan citra partai anak muda yang lantang, berani, dan membawa idealisme baru dengan menolak korupsi, anti-politisasi agama, dan kritis terhadap status quo.
Mereka dijanjikan menjadi mata air baru di padang gurun politik yang kering. Namun, publik mencatat pergeseran tajam yang menyakitkan.
Kini, PSI tidak lagi dikenal karena ide-ide substansifnya, tetapi karena politik pengikut yang sangat kentara. Mereka telah berubah dari partai yang keras bicara tentang ideologi menjadi partai yang sangat pragmatis, rela menjilat demi mendapatkan efek ekor jas dari kekuatan politik yang sedang berkuasa.
Tuduhan Ahmad Ali terhadap PDI Perjuangan adalah contoh nyata dari pragmatisme murahan tersebut. PSI memanfaatkan konflik untuk mencari panggung, alih-alih menawarkan solusi atau gagasan yang mencerahkan bangsa. Keberanian kritis yang dulu mereka banggakan kini telah digantikan oleh ketundukan oportunistik kepada figur kekuasaan. Ini adalah tragedi idealisme yang harus dicatat oleh sejarah politik Indonesia.
PSI, yang dulu ingin membongkar politik lama, kini justru terjebak menjadi pelaku dari politik gimmick dan mencari sensasi yang paling usang. Mereka gagal memanfaatkan momentum sebagai partai anak muda untuk membangun narasi politik yang mandiri dan substansif.
Sebaliknya, mereka memilih untuk menjadi "satelit politik" yang suaranya paling keras di isu-isu kontroversial yang mendompleng popularitas.
Berpolitik dengan Integritas
Kepada PSI, publik meminta agar Anda berhenti mencari panggung dengan mengabaikan sejarah. Fokuskan energi Anda untuk menawarkan narasi politik yang substil, program yang jelas. Politik adalah maraton, proses yang teguh, bukan sprint sensasional.
Karier Jokowi adalah sejarah yang dikemas bersama antara kehendak rakyat dan sebuah partai politik yang memberinya perahu, lalu bergerak bersama menjadikannya ada di panggung politik daerah hingga nasional.
Sedangkan PSI datang sekadar pelengkap cerita ini dan kini hanya berupaya menjadi pahlawan kesiangan. PSI harus belajar untuk berpolitik dengan integritas dan substansi, bukan hanya dengan mencari sensasi di atas puing-puing konflik internal partai lain.
Jangan sampai publik mencatat PSI sebagai partai yang hanya bisa bersuara nyaring di media sosial dan isu-isu gimmick, tetapi bisu dalam substansi politik kebangsaan dan telah menggugurkan idealisme yang pernah mereka tawarkan.
Jauhi politik kutu loncat dan kembalilah pada janji untuk menjadi partai yang benar-benar menyentuh relung publik di akar rumput. Sebab, di dalam tubuh PSI sekarang ini ada anak-anak muda yang ingin berpolitik dan membangun kariernya dengan keteguhan dan idealismenya, sementara Ahmad Ali menawarkan gagasan yang jauh dari semangat idealisme pada anak-anak muda, mempertebal kegagapan PSI mewujudkan cita-citanya.
Akhir kata, saya bisa menebak, Ahmad Ali dengan langkah-langkah politiknya yang serba oportunis akan menghancurkan PSI dari dalam.

















































































