Ikuti Kami

Mandat Ideologi dan Spiritualitas Hasto: Menggugat Akar Kapitalisme di Balik Tragedi Pekerja Migran

Oleh: Yogen Sogen, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan-STIPAN yang juga Kader PDI Perjuangan.

Mandat Ideologi dan Spiritualitas Hasto: Menggugat Akar Kapitalisme di Balik Tragedi Pekerja Migran
Yogen Sogen, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan-STIPAN yang juga Kader PDI Perjuangan.

Jakarta, Gesuri.id - Kamis Sembilan Oktober Dua Ribu Dua Puluh Lima, di Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan Lenteng Agung, adalah hari yang dirangkai sebagai momentum perenungan kritis, api intelektualisme Bung Karno kembali dinyalakan. Dan pembawa suluh itu tak lain adalah Hasto Kristiyanto - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan.

Ia berdiri di atas podium, bukan sekadar untuk memberi sambutan formal, melainkan untuk menegaskan sebuah sikap, bahwa tradisi intelektual tidak boleh mati, bahkan dalam badai politik sekalipun.

Saya pribadi, telah lama merindukan panggung pemikiran yang bernas dan berkiblat pada ideologi kritis, untuk menyaksikan momen ini dengan khusyuk. Kita tahu, sejak Desember 2024 hingga ia mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo pada Agustus lalu, Hasto harus berjibaku dalam arena yang tampak jauh dari ranah hukum murni. Politisasi hukum, narasi yang terasa begitu anyir dan meruntuhkan kepercayaan publik itu telah menguras energi dan fokusnya. Babak-babak sidang di pengadilan sudah tentu menanggalkan kelelahan batin, fisik dan alam pikirnya.

Namun, di sini, saya menangkap suatu pesan, sebuah interupsi kebatinan yang menggema dari ruang sunyi: dalam gelap jeruji besi sekalipun, api intelektual tak boleh padam, ia harus terus dirawat dan tiwartakan. 

Api itu pada akhirnya menjelma menjadi sebuah karya. Saat berada di Rutan KPK, Hasto menulis dan melahirkan buku “Spiritualitas PDI Perjuangan”. Meskipun belum membaca buku itu, judulnya melarungkan makna: ini adalah wujud dari interupsi kebatinan di ruang sunyi. Sebuah proses dialektika personal yang teguh, menghadapi pergolakan, menantang dilema, dan memberi sinyal yang tegas bahwa merawat pikiran adalah cara terbaik menghadapi masalah. 

Inilah refleksi intelektualitas yang diyakini.  Ia juga memberi contoh konkret bagaimana cara seorang kader merangkai sikap dalam menggugat realitas pelik, termasuk kasus-kasus hukum, sekaligus mengingatkan, bagi PDI Perjuangan, kader adalah satu kesatuan yang mengakar kuat dalam ideologi dan bukan sekadar kumpulan orang per orang  yang bermanuver tak tentu arah.

Aula Lantai 2 Sekolah Partai memberi titik temu, kerinduan menantikan suara lantang yang terstruktur dan rapi, terbayar tuntas. Hasto berbicara, dan bagi saya, ia adalah suluh, yang menginterupsi seluruh kader PDI Perjuangan agar menjaga baik nalar dan pemikiran mereka. 

Langkah seluruh kader, katanya, harus memegang teguh pada basis ideologi dan intelektual. Tanpa fondasi ini, partai hanyalah kapal ringkih tanpa kompas, mudah karam oleh gelombang pragmatisme.

Politik Kerakyatan dan Manifestasi Keadilan Sosial

Tema yang disajikan dalam diskursus ini, (Kajian Kritis Regulasi Layanan dan Diplomasi Tenaga Kerja Domestik dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia), memberi sinyal bahwa PDI Perjuangan tidak berdiam diri. 

Problem ini bukan lagi sekadar isu yang terus menghantui nalar publik, dan partai ini hadir menjadikannya sebagai panggilan ideologis, yang menentang segala penyangkalan terhadap nilai kemanusiaan. 

Hasto mengatakan bahwa perlindungan Tenaga Kerja Domestik dan Pekerja Migran Indonesia (PMI) adalah manifestasi keadilan sosial yang harus digerakkan melalui jalan politik kerakyatan dengan kerangka ideologis yang kuat. Frasa ini, sarat makna. Ia menolak pendekatan business as usual yang hanya melihat pekerja migran sebagai komoditas penyumbang devisa. Sebaliknya, ia mendorong kita untuk melihat mereka sebagai warga negara yang martabatnya harus dilindungi negara.

Dalam konteks ini, Hasto menegaskan, PDI Perjuangan, hadir sebagai penyeimbang. Ini adalah peran yang strategis. Partai tidak sekadar mengisi ruang formal parlemen, tetapi secara aktif duduk bersama kementerian, lembaga HAM, dan para pemangku kepentingan lainnya. Spiritnya satu: membahas persoalan yang sangat mendasar dengan menalar lebih jauh kondisi PMI yang kerap dihantam kekerasan fisik dan psikis, penipuan kontrak, penyitaan dokumen, hingga tragedi kemanusiaan yang mengguncang nurani bangsa. Ini adalah panggilan politik yang kembali ke rohnya, kembali kepada penderitaan rakyat sebagai sumber pengabdian. 

Kapitalisme, Imperialisme, dan Jawaban Pancasila

Momentum ini bagian yang paling penting, yang mempertegas nyala intelektual Bung Karno. Hasto mengajak semua pihak melihat persoalan ini dari perspektif ideologis, menggali akar masalah yang berakar jauh ke masa lalu.

Ia mengingatkan kita pada Proklamator bangsa, Bung Karno, yang telah menyatakan bahwa bangsa ini pernah terjajah dan menemukan bahwa akar persoalan itu adalah kapitalisme dan imperialisme.

Dari penalaran historis inilah Hasto membawa kita pada gambaran sistem internasional yang oleh Bung Karno disebut sebagai sesuatu yang rawan anarki, sebuah arena yang masih digerakkan oleh kecenderungan kapitalistik dan imperialistik. Dalam konteks ini, Pancasila hadir, bukan hanya sebagai rumusan politik domestik, tetapi sebagai panggilan moral dan ideologis terhadap ketidakadilan global yang membelenggu para migran.

Ini adalah perenungan ideologis dengan kedalaman pemahaman, menuntut kita meresapi semangat pembebasan dan visi solidaritas universal Bung Karno menjadi kebijakan nyata. Perlindungan PMI bukan sekadar sejarah klise yang larut di memori kolektif kita, melainkan landasan kultural-politik untuk menganulir setiap bentuk penjajahan, dalam segala bentuk, baik politik, ekonomi, maupun sosial, yang masih memberi ruang bagi eksploitasi manusia.

Hukum yang Berkeadilan dan Kerangka Ipoleksosbud

Hasto dengan tajam menyoroti kenyataan bahwa Indonesia tidak lepas dari dinamika geopolitik global. Oleh karena itu, di tataran kebijakan, perlindungan tenaga kerja harus menjadi bagian dari pemikiran strategis. Forum ini diharapkan menyentuh dimensi penting: posisi diplomasi, perjanjian bilateral yang adil, dan bagaimana sistem hukum nasional harus disusun untuk menghadapi tantangan pada lintas batas wilayah hukum.

Landasan yang dicita-citakan adalah hukum yang berkeadilan, sebuah fondasi yang mampu melindungi segenap tumpah darah Indonesia tanpa terkecuali. Dengan kata lain, hukum tidak sekadar catatan yang tertata rapi di undang-undang, namun sejauh mana ia mampu menegakkan keadilan bagi masyarakat yang paling rentan.

Mengulik akar persoalan berarti sebuah usaha menemukan, tentang bagaimana instrumen hukum benar-benar membawahi spirit “justice for all” dari perumusan regulasi yang komprehensif, penguatan penegakan hukum, hingga mekanisme konsuler yang responsif di negara penempatan. 

Di sinilah komitmen PDI Perjuangan diuji. Bicara keadilan bagi kelompok rentan bukan sekadar retorika politik, melainkan taktikal yang bisa diwujudnyatakan. Hasto pada momentum ini mengusulkan langkah-langkah praktis yang merefleksikan cita-cita besar Republik:

Pertama, pengaktifan DPLN (Dewan Pimpinan Luar Negeri) untuk membantu pemerintah dalam perlindungan.
Kedua, pembentukan komite kerja yang fokus menangani persoalan buruh migran. Ketiga, pembentukan task force yang dapat bergerak cepat ketika pelanggaran HAM terjadi. Keempat, aktivasi jaringan kader sampai ke wilayah perbatasan untuk menutup celah-celah penyelundupan dan praktik perekrutan ilegal.

Untuk memastikan setiap intervensi bersifat holistik dan berkelanjutan, PDI Perjuangan mendorong agar ipoleksosbud (integrasi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya) dijadikan kerangka kerja dalam menyusun kebijakan perlindungan.

Fokusnya adalah pengaturan agen perekrutan, standarisasi kontrak kerja, penyediaan jejaring pengamanan sosial, hingga program pendidikan pra-keberangkatan dan reintegrasi ekonomi. Semuanya harus ditempatkan dalam strategi bersama yang mengedepankan martabat manusia.

Janji Kemerdekaan dan Keadilan Segenap Rakyat

Hasto mengakhiri sambutannya dengan sebuah seruan, agar diskursus tersebut melahirkan rekomendasi yang tajam, mencakup akar persoalan ideologis, struktur politik ekonomi, landasan hukum yang spesifik, dan konteks sejarah. Tujuannya bukan hanya menyumbat siklus masalah kasus per kasus, tetapi membangun sistem perlindungan yang permanen dan adil.

Republik ini dibangun atas gagasan dan cita-cita besar yang mengutamakan kepentingan segenap warga negara. Menjaga hak dan martabat warga negara yang pergi mencari nafkah untuk menghidupi keluarga adalah bagian dari janji itu. 

Kita dipanggil untuk saling mengingatkan, bahwa keadilan sosial untuk segenap rakyat, bukan sekadar retorika, tapi harus diterjemahkan dalam sikap dan tindakan konkret. Begitulah cara kita merumuskan keadilan, sebab menjaga martabat warga bangsa sama halnya dengan merawat Pancasila.

Quote