Ikuti Kami

Kudatuli Ajarkan Inti Kekuatan Moral Politik Jatuhkan Tirani

Peringatan Serangan 27 Juli 1996: Demokrasi Arus Bawah Redamkan Rezim Otoriter-Tirani.

Kudatuli Ajarkan Inti Kekuatan Moral Politik Jatuhkan Tirani
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.

Jakarta, Gesuri.id - Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menekankan peristiwa Serangan 27 Juli 1996 ke kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat, atau yang dikenal dengan istilah Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) atau Peristiwa Sabtu Kelabu mengajarkan inti dari kekuatan moral politik, dimana pilihan jalur hukum saat itu memperkuat moral pejuang demokrasi. 

Baca: Hasto: Kudatuli Perlawanan Kekejaman Orde Baru

Kudatuli, lanjutnya, menjadi benih perjalanan reformasi dimana kekuatan rakyat menyatu dan mampu mengalahkan tirani. 

“Di balik jatuhnya Pak Harto, Ibu Megawati telah mengajarkan politik rekonsiliasi, berdamai dengan masa lalu dan melihat masa depan. Disitulah hadir kekuatan moral seorang pemimpin,” ujar Hasto dalam keterangan tertulisnya, Senin (27/7) pagi.

PDI Perjuangan dan segenap lapisan masyarakat, khususnya penggiat ham dan demokrasi, hari ini, Senin (27/7) memeringati peristiwa kelam serangan terhadap kantor DPP PDI saat itu pada tanggal 27 Juli 1996. 

“Pemerintah Orde Baru selalu memilih jalan kekuasaan terhadap rakyatnya sendiri. Serangan tersebut tidak hanya menyerang simbol kedaulatan Partai Politik yang sah, namun juga membunuh demokrasi. Kekuasaan dihadirkan dalam watak otoriter penuh tindakan anarki,” ujar Hasto 

Meski kantor PDI luluh lantak, lanjutnya, namun sejarah mencatat, energi perjuangan tidaklah surut. 

“Apa yang dilakukan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri dengan memilih jalur hukum, ditengah kuatnya pengaruh kekuasaan yang mengendalikan seluruh aparat penegak hukum sangatlah menarik. Tidak hanya langkah tsb menunjukkan keyakinan politik yang sangat kuat. Lebih jauh lagi, keyakinan terhadap kekuatan moral terbukti mampu menggalang kekuatan demokrasi arus bawah. Kekuatan moral itu mendapatkan momentumnya ketika seorang hakim di Riau yang bernama Tobing, mengabulkan gugatan Ibu Megawati. Disinilah hati nurani menggalahkan tirani,” Hasto menegaskan.

Hasto melanjutkan kekuatan moral yang sama menghadirkan politik moral ketika dengan lantang Megawati Soekarnoputri meneriakkan ‘Stop Hujat Pak Harto’. 

Padahal rakyat tahu, bagaimana praktek deSukarnoisasi tidak hanya menempatkan Bung Karno dalam sisi gelap sejarah, namun juga keluarga Bung Karno mendapatkan berbagai bentuk tekanan dan diskriminasi politik. 

Baca: Refleksi Kudatuli, Budiman Ingatkan Kader Tak Sombong

"Ketika saya menanyakan sikap Ibu Mega terkait hal tersebut, keluarlah jawaban yang diluar perkiraan saya: “Saya tidak ingin sejarah terulang, seorang Presiden begitu dipuja berkuasa, dan dihujat ketika tidak berkuasa. Rakyat telah mencatat apa yang dialami oleh keluarga Bung Karno. Karena itulah, mengapa Bung Karno selalu berada di hati dan pikiran rakyat. Kita tidak boleh dendam lalu hanya melihat masa lalu, dan melupakan masa depan,” pungkas Hasto.

Peringatan peristiwa 27 Juli di Kantor DPP PDI Perjuangan dilakukan dengan tabur bunga, doa, dan webinar.

Quote