Ikuti Kami

Megawati Warisi Cinta Lingkungan Bung Karno, Lawan Keserakahan Eksploitasi Alam

Megawati mengungkap perjalanan masa kecilnya yang lekat dengan alam dan warisan pemikiran sang ayah

Megawati Warisi Cinta Lingkungan Bung Karno, Lawan Keserakahan Eksploitasi Alam
Megawati Warisi Cinta Lingkungan Ajaran Bung Karno - Foto: Tangkapan layar Youtube Kompas TV

Jakarta, Gesuri.id – Kecintaan Presiden RI ke-5 yang juga Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Prof. Dr (HC), Hj. Megawati Soekarnoputri terhadap alam bukan sekadar retorika. Dalam episode kedua dokumenter Merawat Pertiwi bertajuk “Bung Karno Ajarkan Cinta Lingkungan”, Megawati mengungkap perjalanan masa kecilnya yang lekat dengan alam dan warisan pemikiran sang ayah, Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno.

Dari duduk di bawah pohon manggis hingga memperhatikan semut yang berpindah sarang, Megawati kecil tumbuh dalam lingkungan yang penuh nilai penghormatan terhadap kehidupan. Ia juga mengenang ajaran sang nenek dari pihak ibu yang berasal dari Bali tentang pentingnya mencintai alam dan makhluk hidup selain manusia.

“Orang Bali kan sangat cinta alam ya. Itu sudah diperkenalkan untuk betul-betul cinta kepada alam, kepada selain manusia,” kenang Megawati.

Menurut Megawati, Bung Karno dikenal welas asih terhadap alam—bahkan kepada nyamuk. “Sehingga kalau nyamuk kata beliau tuh paling juga satu tetes darah yang dihisap. Tapi saya waktu itu bilang, karena beliau ketika di pembuangan di Ende itu terkena malaria. Jadi saya bilang, ‘Ya, Bapak enggak mau membunuh nyamuk kan malah kena malaria,’” ungkapnya.

Megawati menegaskan kecintaannya pada alam bukan hanya warisan nilai, tetapi juga sikap. Ia mengecam penebangan liar dan eksploitasi alam atas nama keuntungan ekonomi. Penebangan pohon tua tanpa perawatan (nurseri), menurutnya, adalah pengabaian nilai kehidupan.

“Pohon di rumah saya itu trembesi, itu saya suruh tanya umurnya berapa dengan Kebun Raya. Sudah ada orangnya menghitung, kalau mungkin sekarang itu 185 tahun,” katanya. 

“Untuk menjadikan sebuah pohon dan itu tempat makhluk hidup bersarang—burung, bajing, ulat—saya paling sakit hati melihat pohon ditebang seenaknya.”

Megawati juga menyoroti keserakahan dalam pengelolaan kelapa sawit dan hilangnya hutan karena pertanian monokultur. “Saya tahu bahwa sawit ini adalah sebuah jenis tanaman yang arogan. Bukannya ribuan hektar itu satu kali nanam dan dia mesti dibuat klaster-klaster. Karena ketika sudah tua, kan ini enggak mau ditanam yang muda, harus dibongkar,” ujarnya.

Persoalan air tawar juga menjadi sorotannya. Ia menilai eksploitasi air tanah dan pencemaran sungai telah mengancam kelangsungan hidup masyarakat. “Banjir ini sebenarnya sangat dikhawatirkan. Tentu satu, air sungai itu tidak seperti zaman dulu. Sudah menjadi kotor, sampah dibuang ke situ,” kata Megawati. “Loh, sungai itu kan sebuah air yang sebenarnya bisa langsung diminum karena tawar, betul apa tidak?” tambahnya.

Di sisi lain, Megawati mengapresiasi masyarakat adat sebagai penjaga sejati hutan dan lingkungan hidup. “Karena kalau saya lihat, mereka itulah perawat ya, dari yang namanya hutan ya, dibanding yang lain dan lain,” ujarnya sambil menegaskan pentingnya menjaga kearifan lokal.

Ia juga mengutip ajaran Jawa memayu hayuning bawana—merawat dunia agar tetap sejahtera. 

“Kita bisa mencintai alam, ketika kita datang betul, menghirup udaranya, memegang tanahnya, memegang akarnya, kita jadi bisa mengenal dan mencintai. Betul enggak? Tanpa itu ya enggak bisa, teori aja,” ucapnya.

Melalui dokumenter ini, Megawati mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan bukan sekadar isu teknis, tapi menyangkut masa depan generasi. Ia mengajak masyarakat untuk belajar dari hewan yang hidup secukupnya dan tidak rakus. 

“Jadi bahkan hewan saja mengenal kata untuk cukup dan enggak rakus. Dan itulah bagian kehidupan menurut saya,” ujarnya reflektif.

Episode kedua Merawat Pertiwi ini tayang di KompasTV pada Selasa, 19 Agustus 2025 pukul 18.00 WIB. Dokumenter ini menjadi lanjutan penting dari suara Megawati dalam menjaga bumi — bukan sebagai politisi, melainkan sebagai manusia yang merawat warisan spiritual, budaya, dan ekologis dari Bung Karno.

Quote