Ikuti Kami

Ansy Lema: Tindak Tegas Korporasi Penyebab Karhutla 

Tindakan karhutla sendiri jelas merusak ekosistem lingkungan.

Ansy Lema: Tindak Tegas Korporasi Penyebab Karhutla 
Anggota DPR RI Komisi IV Yohanis Fransiskus Lema.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota DPR RI Komisi IV Yohanis Fransiskus Lema menegaskan negara harus menindak tegas para pelaku korporasi yang melakukan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). 

Lanjutnya, bukan hanya persoalan menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar, tindakan karhutla sendiri jelas merusak ekosistem lingkungan yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup.

Baca: Terkait Izin FPI, Ansy Lema: Pancasila Landasan Semua Ormas

Hal itu diungkapkan oleh pria yang akrab disapa Ansy Lema ini dalam dialog bersama masyarakat dan Pemerintah Daerah Riau, Kamis (7/11). Dirinya bersama anggota Komisi IV lainnya melakukan kunjungan kerja resmi pertama ke lokasi karhutla di Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. 

“Ada tiga aktor penting di sini terkait karhutla, yaitu negara, korporasi, dan masyarakat. Masyarakat yang menyebabkan karhutla bisa diberikan edukasi untuk tidak lagi melakukan. Edukasi penting agar masyarakat sadar bahwa membakar hutan jelas merusak alam. Pelaku harus dihukum agar jera. Tindakan tegas harus diberikan pada korporasi pelaku utama karhutla. Pertanyaan utama yang mesti dijawab, siapa aktor utama pembakaran hutan dan untuk tujuan apa?,” ujar Ansy.

Ia memaparkan, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk satu wilayah Sumatera, Provinsi Riau adalah propinsi dengan karhutla terbesar selama periode Januari-September 2019 dengan total rekapitulasi karhutla sebesar 75.870 hektar. Angka ini memiliki presentase 8,85 persen dari total luas lahan karhutla di Indonesia yang mencapai 857.756 hektar.

Melihat trendnya selama periode 5 tahun terakhir (2015 – 2019), lanjut Ansy, berdasarkan data  KLHK, Riau masuk dalam lima provinsi terbesar yang mengalami karhutla dengan total 389.001,46 hektar. Posisi pertama ditempati Kalteng dengan 773.385,25 hektar, disusul Sumsel dengan 727.651,97 hektar, Papua 680.748,12 hektar, dan Kalsel dengan 419.231,06 hektar. Kebakaran di Riau tahun ini paling banyak terjadi di lahan gambut dengan total  40.553 hektar dan tanah mineral 8.713 hektar. 

“Apa yang menjadi penyebab karhutla di Riau ini adalah adanya alih fungsi lahan dan deforestasi. Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal PTSP Riau, luas kebun kelapa sawit di Riau tercatat 2,42 juta hektar. Luas kebun sawit ini lebih dari seperempat luas Provinsi Riau yang sekitar 8,7 hektar,” beber Ansy. 

Yang mempunyai kebun kelapa sawit di Riau adalah masyarakat dan korporasi. Akan tetapi, yang paling banyak adalah korporasi, baik korporasi skala nasional ataupun internasional. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bersuara sewaktu Mantan Wakil Pimpinan KPK Alexander Marwata berkunjung ke Riau pada Mei 2019 lalu. KPK mencatat ada 1 juta hektar perkebunan kelapa sawit ilegal (tanpa ijin) dan meminta Pemprov Riau untuk menertibkan hal tersebut.

Hingga Oktober 2019, KLHK telah menyegel 64 perusahaan yang terlibat karhutla dan tersebar di berbagai provinsi, termasuk Riau. KLHK juga menetapkan 5 dari 20 perusahaan asing sebagai tersangka karhutla. Selebihnya masih dilakukan proses penyelidikan.

“Negara harus tegas dan adil. Pemerintah mesti menindak tegas korporasi agar karhutla tidak menjadi agenda tahunan yang selalu terjadi. Kita harus bisa menghentikannya. Jangan ada kesan, negara kalah, takluk tak berdaya berhadapan dengan korporasi,” pungkas Ansy.

Baca: Penyebab Karhutla, Pemerintah Jangan Kalah dengan Mafia

Selain mengenai penyegelan atau pembekuan izin, skala penegakan hukum yang perlu dilakukan sebagai efek jera adalah pemberlakuan denda. Dalam hal ini, tegas Ansy, pemerintah harus bisa meminta dan menagih denda korporasi yang melakukan karhutla. Misalnya, KLHK menetapkan empat perusahaan asing tersangka Karhutla dengan total ganti rugi yang wajib dibayarkan sebesar Rp 3,15 triliun dan pemerintah baru menerima Rp 78 miliar. Hal ini tentu saja membutuhkan langkah tegas dari pemerintah untuk bisa melakukan penegakan hukum dan sanksi tanpa pandang bulu.

“Jangan sampai negara terus menanggung kerugian hingga puluhan triliun akibat karhutla,” imbuh Ansy.

Quote