Ikuti Kami

Anwar Saragih Soroti Perselingkuhan Negara–Korporasi sebagai Akar Kerusakan Lingkungan

Dari pembukaan Freeport di Papua, Inalum di Sumatera Utara, hingga perkebunan monokultur, semuanya dimulai dari kebijakan PMA

Anwar Saragih Soroti Perselingkuhan Negara–Korporasi sebagai Akar Kerusakan Lingkungan
Peneliti Lingkungan Hidup Anwar Saragih - Foto: DPP PDI Perjuangan

Jakarta, Gesuri.id – Peneliti Lingkungan Hidup Anwar Saragih menyoroti tajam hubungan yang ia sebut sebagai “perselingkuhan negara dan korporasi” dalam kerusakan ekologis Indonesia selama puluhan tahun. Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Hari Antikorupsi Sedunia di Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Selasa (9/12).

Anwar menjelaskan, banjir dan longsor yang melanda banyak wilayah di Sumatera Utara tidak dapat dipandang sebagai kejadian alamiah, melainkan hasil langsung dari kebijakan pemerintah yang memberikan konsesi besar kepada korporasi sejak era Orde Baru.

“Dari pembukaan Freeport di Papua, Inalum di Sumatera Utara, hingga perkebunan monokultur, semuanya dimulai dari kebijakan Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967. Sejak itu puluhan juta hektare hutan Indonesia dibabat,” katanya.

Ia menyebut data kerusakan lingkungan di Sumatera Utara sudah sangat mencemaskan. Taman Nasional Gunung Leuser yang menyimpan keanekaragaman hayati luar biasa kini tergerus oleh alih fungsi lahan. Kerusakan hulu sungai memperparah banjir di Medan, Langkat, Karo, hingga Mandailing Natal. Kawasan ekosistem Batang Toru pun terancam, mengakibatkan banjir di Sibolga dan Tapanuli.

“Dari 33 kabupaten/kota, lebih dari separuh sudah mengalami banjir dan longsor. Ini bukan fenomena alam, ini fenomena kebijakan,” tegasnya.

Dalam analisisnya, empat aktor utama bertanggung jawab: negara, korporasi, LSM yang belum cukup kuat sebagai kelompok penekan, dan masyarakat akar rumput yang menjadi korban.

“Yang kebagian untung negara dan korporasi. Yang kebagian bencana masyarakat kecil,” ujarnya.

Anwar juga menyoroti dampak kerusakan lingkungan terhadap kelompok rentan. Studi lapangannya di pengungsian erupsi Sinabung menunjukkan bagaimana perempuan dan anak menghadapi kerentanan berlapis—mulai dari kekurangan logistik, akses kesehatan buruk, hingga meningkatnya ancaman kekerasan seksual.

“Perspektif HAM dan antropologi penting dalam membaca bencana. Jangan hanya lihat angka kerugian 60 triliun atau 200 triliun. Lihat manusia yang mengalami penderitaan,” tegasnya.

Ia kemudian menyarankan pemerintah mengarusutamakan pendekatan ekologi politik dan ecocentric dalam kebijakan nasional. Paradigma ini, menurutnya, harus memprioritaskan pemulihan alam, bukan hanya pertumbuhan ekonomi.

Anwar mengingatkan bahwa preseden baik pernah ditunjukkan Presiden Megawati pada 2002 ketika menolak ekspor pasir laut dan menerapkan moratorium penebangan hutan. Kebijakan itu, katanya, memberi ruang bagi bumi untuk “bernapas kembali”.

“Kalau kita tidak belajar dari sejarah, bencana ekologis akan terus menjadi warisan paling kelam bangsa ini,” tutupnya.

Quote