Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto nilai kasus ibu hamil, Irene Sokoy, di Papua yang diduga ditolak oleh empat rumah sakit hingga akhirnya meninggal bersama bayinya merupakan pelanggaran berat dan tragedi ini bukan kecelakaan administratif, melainkan pelanggaran terang-terangan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Dalam UU Kesehatan telah mengatur mengenai penanganan pasien gawat darurat. Pasal 174 mewajibkan seluruh rumah sakit milik pemerintah maupun swasta untuk mendahulukan penyelamatan nyawa dan mencegah kedisabilitasan.
Di situ pula ditegaskan bahwa rumah sakit dilarang menolak pasien, dilarang meminta uang muka, dan dilarang menjadikan urusan administratif sebagai alasan menunda pelayanan.
Baca: Ganjar Ingatkan Anak Muda Harus Jadi Subjek Perubahan
“Ibu Irene datang dalam kondisi hendak melahirkan. Itu adalah definisi paling dasar dari kegawatdaruratan. Keempat rumah sakit yang menolak telah mengabaikan kewajiban hukum dan kewajiban moralnya,” kata Edy, Selasa (25/11).
Pelanggaran tersebut, lanjutnya, memiliki konsekuensi hukum yang sangat tegas. Pasal 438 UU yang sama mengatur ancaman pidana hingga 10 tahun penjara atau denda mencapai Rp2 miliar apabila penolakan pasien gawat darurat berujung pada kematian.
Dengan demikian proses hukum harus berjalan tidak hanya untuk tenaga medis atau petugas di lapangan, tetapi juga terhadap pimpinan fasilitas kesehatan yang bertanggungjawab atas keseluruhan kebijakan dan tata kelola pelayanan.
“Saya meminta Polri turun tangan menangani kasus ini. Kematian seorang ibu dan bayinya bukan sekadar insiden, tetapi akibat dari pelanggaran hukum yang nyata,” tegasnya.
Terkait alasan ruang kelas 3 yang penuh, Edy menegaskan bahwa peraturan telah menyediakan solusi sejak lama. Permenkes 28/2014 mengatur bahwa ketika ruang kelas 3 tidak tersedia, pasien harus dirawat di kelas 1 atau 2 tanpa pungutan biaya tambahan. Pasien tersebut dititipkan ke kelas 1 atau 2 hingga ruang kelas 3 kembali tersedia.
"Dengan regulasi sejelas itu, permintaan uang muka Rp4 juta untuk ruang VIP adalah bentuk pengabaian aturan. Rumah sakit tidak bisa menjadikan tarif sebagai palang pintu yang akhirnya merampas kesempatan hidup pasien,” ujarnya.
Edy menekankan bahwa kasus ini membuka borok serius dalam penyelenggaraan JKN dan pengelolaan IGD di sejumlah daerah, khususnya di wilayah 3T seperti Papua. Legislator Dapil Jawa Tengah III itu menilai pemerintah bersama BPJS Kesehatan tidak boleh hanya hadir di atas kertas.
Petugas BPJS SATU yang ditempatkan di rumah sakit harus bekerja proaktif mengawasi situasi IGD, memastikan tidak ada peserta JKN yang ditolak, dan mengintervensi sejak awal jika terjadi hambatan pelayanan.
Baca: Ganjar Ingatkan Anak Muda Harus Jadi Subjek Perubahan
Selain itu, pemerintah pusat maupun daerah wajib memastikan adanya Desk Pengaduan yang aktif di lobi rumah sakit untuk membantu pasien mengakses rujukan cepat, termasuk menyediakan ambulans yang aman dan layak.
"Tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda pembenahan. Nyawa rakyat bukan angka statistik. Seorang ibu dan bayinya telah menjadi korban kegagalan sistem yang seharusnya melindungi mereka,” ujar Edy.
Edy mendesak agar investigasi terhadap empat rumah sakit dilakukan secara transparan, menyeluruh, dan diumumkan kepada publik.
"Tragedi di Papua ini harus menjadi titik balik. Negara tidak boleh diam ketika hukum dilanggar dan rakyat menjadi korban. Penegakan hukum harus tegas, pengawasan harus diperkuat, dan keberpihakan kepada rakyat harus menjadi napas seluruh institusi kesehatan kita,", pungkasnya.

















































































