Ikuti Kami

PDI Perjuangan Anggap Penangkapan Aktivis Lingkungan di Jateng Preseden Berbahaya Bagi Demokrasi

Ditambahkan Andreas, Dera dan Munif adalah pegiat lingkungan yang seharusnya dilindungi oleh ketentuan anti-SLAPP.

PDI Perjuangan Anggap Penangkapan Aktivis Lingkungan di Jateng Preseden Berbahaya Bagi Demokrasi
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira.

Jakarta, Gesuri.id - Fraksi PDI Perjuangan memandang penangkapan dan penahanan terhadap Adetya Pramandira (Dera) dan Fathul Munif dan sejumlah aktivis lainnya sebagai preseden berbahaya bagi demokrasi, kebebasan sipil, dan perjuangan lingkungan hidup di Indonesia.

“Jika aktivis lingkungan dipenjara karena bersuara, maka yang sedang dipidanakan bukan individu melainkan hak rakyat atas lingkungan yang sehat,” kata Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Organisasi dan Keanggotaan yang juga Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira kepada awak media, Rabu (10/12).

Menurut Andreas, penetapan tersangka tanpa pemeriksaan, penggunaan pasal-pasal karet UU ITE, serta pengabaian asas legalitas menunjukkan adanya pola kriminalisasi yang bertentangan dengan prinsip negara hukum. 

Ditambahkan Andreas, Dera dan Munif adalah pegiat lingkungan yang seharusnya dilindungi oleh ketentuan anti-SLAPP sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU Lingkungan Hidup, bukan justru dibungkam karena keberpihakan mereka terhadap warga yang memperjuangkan ruang hidup. 

Baca: Ganjar Minta Dana Pemda yang Mengendap 

Sebagaimana diberitakan, polisi menahan dua aktivis lingkungan yakni Adetya Pramandira (Dera) dan Fathul Munif. Selain keduanya, aktivis lingkungan dari Pegunungan Kendeng, Gunretno, juga diperiksa polisi terkait laporan dugaan penghalangan usaha pertambangan. 

Tim Kuasa hukum Dera dan Munif, Nasrul Saftiar Dongoran menyebut penangkapan dan penahanan terkesan dipaksakan. Sebab, kata dia, tidak ada peristiwa pidana yang dilakukan keduanya. 

Nasrul menyoroti putusan penetapan tersangka yang dilakukan tanpa pemeriksaan terhadap kliennya. Meski begitu, kata dia, Dera dan Munif tetap gigih menyuarakan pembelaan terhadap isu lingkungan walaupun mengalami tekanan psikologis di tahanan.

Penahanan para aktivis lingkungan mendapat perhatian banyak kalangan. Tidak kurang dari 10 tokoh agama, akademisi, hingga masyarakat sipil yang mengajukan penangguhan penahanan bagi keduanya. 

“Tim pendamping hukum Dera dan Munif juga telah menyerahkan 200 lebih surat permohonan penangguhan penahanan yang ditandatangani oleh tokoh masyarakat, Agama, Akademisi, Aktivis, BEM Se-Kota Semarang dan organisasi masyarakat sipil,” kata Bagas, Tim Hukum Suara Aksi pendamping Dera dan Munif, Senin (8/12/2025).

Bagas menjelaskan bahwa banyak kalangan menyatakan kesiapan secara moral dan hukum untuk menjadi penjamin dalam permohonan penangguhan penahanan.

“Mereka menyampaikan keprihatinan mendalam mengenai penahanan Dera-Munif dan meminta kepolisian untuk segera memberikan penangguhan penahanan,” lanjutnya.

Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, Ubaidullah Shodaqoh, juga mengajukan permohonan penangguhan penahanan.

Menurutnya, Dera dan Munif merupakan aktivis yang vokal dalam isu lingkungan dan hak rakyat, serta belum memiliki catatan kriminal.

“Bahwa Saudari Adetya Pramandira dan Saudara Fathul Munif ke depannya akan bersikap kooperatif,” ujarnya.

Penangguhan Penahanan

Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memrotes penggunaan upaya paksa penangkapan kepada aktivis kembali berulang. Menurut WALHI, secara norma, penangkapan yang dilakukan oleh Polrestabes Semarang kepada keduanya merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan abai pada pemenuhan prinsip-prinsip negara hukum. 

Dalam siaran persnya, Teo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI menyebut penangkapan terhadap Adetya Pramandira dan Fathul Munif merupakan salah satu bentuk pembungkaman aktivis pro demokrasi. Terlebih keduanya dituduh dengan sangkaan yang yang tidak berdasar dan tidak pernah dipanggil sebagai saksi.

“Penangkapan ini juga menambah rekam buruk kepolisian dalam merespons peristiwa unjuk rasa pada akhir Agustus dan awal September 2025. Penangkapan dengan tuduhan melakukan penghasutan dalam demonstrasi Agustus 2025 melanjutkan tindakan penegakan hukum tidak berdasar dan tidak disertai prosedur hukum yang sah,” tambah Teo. 

Berdasarkan informasi dari Tim Hukum Suara Aksi, selama mendampingi keduanya sampai dengan malam ini (27/11/2025) tidak ditemukan tindak pidana kepada keduanya serta tidak ada bukti yang relevan dan dapat diterima. 

Selanjutnya, Teo Reffelsen menjelaskan apa yang dilakukan Polrestabes Semarang juga memperlihatkan pembangkangan terhadap Perintah Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dalam Surat Telegram Nomor: ST/2422/X/REN.2/2025 Tanggal 22 Oktober 2025 yang memerintahkan larangan kriminalisasi dan mencari-cari kesalahan, menghentikan praktik mencari masalah dan membuat-buat kasus untuk menjatuhkan pihak tertentu, serta memastikan penegakan hukum harus berbasis alat bukti yang sah.

Pemidanaan yang dipaksakan atau kriminalisasi terhadap keduanya juga menunjukkan Polri tidak serius memenuhi tuntutan reformasi di dalam institusinya. Preseden buruk ini semakin mempertegas rezim ini terus menggunakan hukum secara represif kepada mereka yang bersuara kritis. Penggunaan hukum sekedar sebagai efek gentar (chilling effect) terhadap gerakan masyarakat sipil dan lingkungan harus segera dihentikan. 

Baca: Ganjar Pranowo Tegaskan Marsinah Lebih Layak

Karena itu, WALHI menuntut:

Pertama, Presiden Prabowo untuk menggunakan kewenangan yang melekat padanya untuk membebaskan dan menghentikan proses hukum terhadap tahanan politik, termasuk Adetya Pramandira dan Fathul Munif;

Kedua, Kapolri secara langsung memerintahkan Kapolrestabes Semarang membebaskan dan menghentikan proses hukum terhadap Adetya Pramandira dan Fathul Munif;

⁠Ketiga, Kapolri memerintahkan seluruh jajaran Polda di seluruh Indonesia menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap aktivis dan menghormati serta melindungi hak kebebasan berpendapat;

⁠Kelima, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Ombudsman RI untuk secara aktif mendorong pembebasan dan penghentian proses hukum terhadap Adetya Pramandira dan Fathul Munif.

Quote