Jakarta, Gesuri.id - Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Sikka mendorong pemerintah daerah setempat untuk menjadikan sektor jasa sebagai tulang punggung peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), menyusul masih rendahnya tingkat kemandirian fiskal daerah yang tercermin dari struktur APBD tahun anggaran 2026.
“Dalam perspektif pembangunan jangka menengah dan panjang, kondisi ini perlu dibaca sebagai peringatan serius agar pemerintah daerah tidak terjebak pada zona nyaman fiskal, melainkan mulai melakukan transformasi kebijakan yang mengarah pada sektor-sektor unggulan dan sektor-sektor baru dalam upaya peningkatan PAD,” ujar Juru Bicara Fraksi PDI Perjuangan, Alfonsus Ambrosius, saat menyampaikan Pendapat Akhir Fraksi atas Persetujuan dan Penetapan RAPBD 2026, Senin (29/12).
Fraksi PDI Perjuangan menyoroti rendahnya kontribusi PAD Kabupaten Sikka yang pada tahun 2026 hanya dianggarkan sebesar Rp 124.134.620.314, atau tidak sampai 10 persen dari total pendapatan daerah sebesar Rp 1.240.085.000.000.
Sementara itu, ketergantungan terhadap pendapatan transfer dari pemerintah pusat masih sangat dominan, yakni mencapai Rp 1.099.383.767.086 atau sekitar 88,6 persen dari total pendapatan daerah.
Kondisi tersebut, menurut Fraksi PDI Perjuangan, secara objektif menunjukkan bahwa tingkat kemandirian fiskal Kabupaten Sikka masih berada pada level yang rendah, sehingga APBD daerah masih sangat bergantung pada kebijakan fiskal nasional.
Fraksi PDI Perjuangan berpandangan bahwa sektor jasa seharusnya menjadi salah satu pilar utama dalam mendorong peningkatan PAD. Dengan posisi geografis yang strategis, kekayaan alam yang beragam, serta karakter budaya yang kuat, sektor jasa dinilai menyimpan potensi fiskal yang besar bagi Kabupaten Sikka.
“Namun realitas yang kita hadapi menunjukan bahwa potensi tersebut belum mampu diterjemahkan menjadi kekuatan ekonomi daerah yang nyata,” ujarnya.
Di sektor pariwisata, Fraksi PDI Perjuangan menilai Kabupaten Sikka sejatinya memiliki sebaran objek wisata yang sangat kaya dan beragam, mulai dari wisata bahari, pesisir, alam, hingga wisata budaya dan religi. Sayangnya, kekayaan tersebut dinilai belum dikelola dengan visi yang utuh dan manajemen yang profesional.
Pariwisata yang seharusnya menjadi lokomotif peningkatan PAD justru berjalan tanpa arah yang jelas, minim promosi, miskin inovasi, dan tidak terintegrasi dalam satu ekosistem ekonomi daerah. Kondisi ini diperparah dengan terbengkalainya sejumlah aset strategis daerah.
Salah satu contoh yang disorot adalah Sikka Diving Center di Wairterang yang semestinya menjadi ikon wisata bahari Teluk Maumere. Namun saat ini, aset tersebut justru tampak tidak terurus dan kehilangan fungsi, menyerupai bangunan mati.
Kondisi serupa juga terjadi pada kawasan wisata Tanjung Kaju Wulu, Nusa Kutu, Wair Nokerua, replika Kota Tua Betlehem di Nele, serta berbagai lokasi ikonik lainnya yang secara historis dan visual memiliki nilai strategis bagi Kabupaten Sikka, namun belum dikelola secara maksimal sebagai ruang publik bernilai ekonomi.
“Aset-aset ini tidak hanya kehilangan nilai ekonomi tetapi juga mencerminkan lemahnya tata kelola dan absennya keberpihakan kebijakan terhadap pengelolaan aset daerah secara produktif,” sentil Alfonsus Ambrosius.
Fraksi PDI Perjuangan juga menyinggung ironi yang terjadi di sektor kesehatan. Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Kabupaten Sikka yang telah dilengkapi fasilitas relatif memadai hingga kini belum memberikan kontribusi signifikan terhadap PAD.
Potensi pelayanan kesehatan penunjang, pemeriksaan laboratorium rujukan, serta kerja sama lintas wilayah belum dimanfaatkan secara maksimal. Akibatnya, Labkesda lebih berfungsi sebagai beban operasional dibandingkan sebagai unit layanan yang produktif secara fiskal.
Selain itu, kondisi RSUD TC Hillers Maumere turut menjadi perhatian serius Fraksi PDI Perjuangan. Rumah sakit yang seharusnya berperan sebagai pusat rujukan regional di wilayah Flores ini justru kerap merujuk pasien keluar daerah akibat keterbatasan dokter spesialis dan tenaga ahli.
Bahkan, sejumlah tenaga medis memilih meninggalkan rumah sakit tersebut karena lemahnya sistem manajemen dan ketidakpastian pengembangan profesional. Situasi ini dinilai tidak hanya menurunkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, tetapi juga menggerus potensi pendapatan rumah sakit sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Karena itu, Fraksi PDI Perjuangan mendorong pemerintah daerah untuk segera mendatangkan dokter spesialis dan tenaga ahli melalui skema kontrak maupun kerja sama dengan jaringan pemerintah pusat.
“Karena bagi kami pelayanan kebutuhan kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas yang pada akhirnya berdampak positif terhadap PAD,” ujar Alfonsus Ambrosius.
Dari berbagai persoalan tersebut, Fraksi PDI Perjuangan menegaskan bahwa kondisi ini bukanlah sebuah prestasi, melainkan cerminan buruknya manajemen sektor jasa, lemahnya pengelolaan aset pariwisata dan aset daerah, serta tidak profesionalnya tata kelola layanan kesehatan yang berdampak langsung pada rendahnya kontribusi sektor jasa terhadap PAD.
“Ini bukan sekedar persoalan teknis, melainkan persolan kepemimpinan, kebijakan, dan keberanian untuk melakukan pembenahan,” seru Alfonsus Ambrosius.
Menutup pandangannya, Fraksi PDI Perjuangan menegaskan bahwa sudah saatnya pemerintah daerah mengencangkan ikat pinggang kebijakan dan menjadikan sektor-sektor jasa sebagai prioritas strategis yang dikelola secara serius, terencana, dan berorientasi pada hasil nyata bagi kesejahteraan masyarakat dan kemandirian fiskal Kabupaten Sikka.

















































































