Ikuti Kami

Rokhmin Harap Maksimalkan ESG di Sektor Kelautan & Perikanan

Secara makroekonomi, pembangunan kelautan Indonesia telah menghasilkan kinerja yang cukup baik:

Rokhmin Harap Maksimalkan ESG di Sektor Kelautan & Perikanan
Ketua Bidang Kelautan dan Perikanan DPP PDI Perjuangan Rokhmin Dahuri.

Jakarta, Gesuri.id - Ketua Bidang Kelautan dan Perikanan DPP PDI Perjuangan Rokhmin Dahuri, mengatakan secara makroekonomi, pembangunan kelautan Indonesia telah menghasilkan kinerja yang cukup baik: volume produksi perikanan, ESDM, pariwisata, dan industri jasa dan jasa maritim terus mengalami peningkatan.  

Demikian juga halnya dengan, kontribusinya terhadap PDB, nilai ekspor, dan penciptaan lapangan kerja.

Namun, terang Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB itu masih banyak nelayan, pembudidaya ikan, dan stakeholder kelautan lainnya yang miskin; ketimpangan ekonomi kian melebar; overfishing, pencemaran perairan, dan kerusakan lingkungan semakin meluas; dan Pemanasan Global dengan sederet dampak negatifnya.

Baca: Wiryanti Sukamdani Tertarik Potensi Perikanan di Kota Tegal

“Sebab itu, pembangunan, investasi, dan bisnis ESG (Environment, Social, dan Governance) di sektor Kelautan dan Perikanan harus terus dikembangkan,” katanya saat menjadi narasumber diskusi publik yang diselenggarakan Pandu Tani Indonesia secara virtual, Kamis (5/1).

Mengutip data ILO tahun 2022, Prof Rokhmin menyebut bahwa dalam satu dekade terakhir, investasi dan bisnis di bidang ESG (Environmental, Social, and Governance) telah menjadi arus utama di dunia. Pada Aspek Lingkungan berarti berinvestasi dalam pembangunan, investasi, dan kegiatan bisnis yang ramah lingkungan seperti: mengurangi emisi karbon, menggunakan sumber daya secara lebih efisien, mengurangi produksi limbah, dan mematuhi peraturan lingkungan.

Indonesia sendiri jelas Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu memiliki potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia sebesar US$ 1,4 triliun/tahun atau setara 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional 2021 dan dapat membuka lapangan kerja 45 juta orang atau setara 30% total angkatan kerja Indonesia.

Selain itu, secara geoekonomi, wilayah laut NKRI dengan ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) nya merupakan pusat Sistem Rantai Pasok Global, dimana sekitar 45% total barang (komoditas dan produk manufaktur) yang diperdagangkan di dunia, dikapalkan (ditransportasikan, didistribusikan) dengan nilai rata-rata US$ 15 trilyun/tahun (UNCTAD, 2016).

“Selat Malaka sebagai bagian dari ALKI-1 merupakan jalur transportasi laut terpendek yang menghubungkan S. Hindia dengan S. Pasifik.  Menghubungkan raksasa-raksasa ekonomi dunia, termasuk India, Timur-Tengah, Eropa, dan Afrika di belahan Barat dengan China, Korea Selatan, dan Jepang di belahan Timur,” jelasnya.  

ALKI-1 melayani pengangkutan sekitar 80% total minyak mentah yang memasok Kawasan Asia Timur (China, Taiwan, Jepang, dan Korea) dari Kawasan Timur- Tengah dan Afrika. Volume minyak mentah yang dikapalkan via S. Malaka sekitar 16 juta barel/hari, 20 kali lipat total produksi minyak mentah Indonesia, dan 4 kali lipat total minyak mentah yang diangkut via Terusan Suez.

Baca: Sektor Perikanan dan Kelautan Harus Diselamatkan

“Jumlah kapal yang melintasi ALKI-1 mencapai 100.000 kapal per tahun. Sementara, Terusan Suez dan Terusan Panama masing-masing hanya dilewati oleh 18.800 dan 10.000 kapal per tahun (Calamur, 2017). Pendapatan Otoritas Terusan Suez mencapai rata-rata Rp 220 milyar per hari (Rp 80,7 trilyun per tahun). Bandingkan anggaran (APBN) KKP 2021 hanya Rp 6 trilyun,” ungka Ketua Masyarakat Akuakultur (MAI) itu.

Selain itu, kata Prof Rokhmin ARLINDO yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari S. Pasifik ke S. Hindia juga berfungsi sebagai “nutrient trap” (perangkap unsur hara, seperti nitrogen dan fosfor), sehingga perairan laut Indonesia merupakan habitat ikan tuna terbesar di dunia (the world tuna belt), memiliki marine biodiversity (keanekaragaman hayati laut) tertinggi di dunia, termasuk “Coral Triangle”, dan memiliki potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut terbesar di dunia, sekitar 12,5 juta ton/tahun (FAO, 2008; KKP, 2017).

“Sebagai bagian dari “Global Conveyor Belt” dan terletak di Khatulistiwa menjadikan Indonesia secara klimatologis sebagai pusat pengatur iklim dunia (El-Nino dan La-Nina) (NOAA, 1998),” tegasnya.
 

Quote