Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi IV DPR RI 2024–2029, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menegaskan bahwa praktik korupsi, kriminalitas, dan ketimpangan hukum masih menjadi bayang-bayang kelam dalam perjalanan Indonesia menuju visi besar Indonesia Emas 2045.
“Indonesia harus menjadi negara hukum yang berkeadilan, bukan sekadar negara kekuasaan,” tegas Rektor Universitas UMMI Bogor ini saat menyampaikan Kuliah Umum bertajuk “Pembangunan Sistem Hukum untuk Mewujudkan Indonesia Emas 2045” di Aula Zamrud Khatulistiwa, STIH Adhyaksa, Rabu (8/10).
Dalam pemaparannya, Prof. Rokhmin menekankan bahwa sistem hukum harus menjadi fondasi utama industrialisasi dan pemerataan ekonomi. Ia menyerukan transformasi struktural dari konsumsi ke produksi, dari impor ke ekspor, dan dari eksploitasi ke inovasi.
“Negara kuat bukan karena banyaknya regulasi, tapi karena keadilan yang ditegakkan dan keberpihakan hukum pada kepentingan nasional,” ujar Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan IPB University itu.
Prof. Rokhmin menguraikan berbagai fenomena hukum yang dinilai menghambat kemajuan bangsa. Korupsi, menurutnya, telah membelenggu dan menggerogoti potensi pembangunan Indonesia, khususnya di sektor maritim dan pangan. Ia menilai keterlambatan pembangunan infrastruktur dan lemahnya pemberantasan illegal fishing juga disebabkan oleh korupsi dan kurangnya komitmen politik dalam penegakan hukum.
Beberapa persoalan hukum yang disebutnya menjadi hambatan utama antara lain maraknya praktik KKN yang massif dan sistemik, meningkatnya kejahatan sosial seperti narkoba, judi online, dan premanisme, serta ketimpangan hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Selain itu, konflik agraria, kerusakan lingkungan, dan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum juga turut memperparah kondisi.
Prof. Rokhmin menyebut, akar masalah utama yang harus dibenahi mencakup hiperregulasi, tumpang tindih kewenangan lembaga hukum, rendahnya budaya hukum masyarakat, intervensi politik, serta lemahnya integritas dan kesejahteraan aparat penegak hukum.
Ia menegaskan bahwa transformasi hukum harus berakar pada Pancasila dan UUD 1945, dengan pendekatan menyeluruh yang meliputi tiga aspek utama: substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Pada aspek substansi hukum, Prof. Rokhmin menilai perlunya penyederhanaan regulasi melalui Omnibus Law yang berkualitas, penerapan Regulatory Impact Assessment (RIA), serta harmonisasi hukum nasional dan internasional berbasis nilai-nilai Pancasila.
Untuk aspek struktur hukum, ia menekankan pentingnya reformasi kelembagaan penegak hukum berbasis profesionalisme, digitalisasi proses hukum seperti e-court, e-legislation, dan e-prosecution, serta penguatan sistem check and balances antar-lembaga.
Sementara dalam aspek budaya hukum, ia mendorong pendidikan hukum sejak dini, kampanye publik tentang hukum sebagai instrumen keadilan, keteladanan dari elite dan aparat, peningkatan kesejahteraan serta IMTAQ aparat hukum, dan penerapan sistem *reward and punishment* yang tegas.
Ketua Dewan Pakar ASPEKSINDO (Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan se-Indonesia) itu juga menyoroti potensi besar sumber daya alam Indonesia yang belum dimanfaatkan optimal. Menurutnya, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, kekayaan laut senilai ribuan triliun rupiah, dan posisi strategis di jalur perdagangan internasional.
“Dengan kekayaan sumber daya alam yang begitu besar, sangat disayangkan Indonesia masih menikmati peran sebagai negara pengimpor. Seharusnya negeri ini menjadi arena produksi yang menggerakkan ekonomi rakyat,” tegasnya.
Ia menilai pola ekspor bahan mentah dan impor barang jadi merupakan warisan kolonial yang harus segera diakhiri.
“Kita menjual bahan mentah, lalu membeli kembali produk jadi dengan harga berlipat. Ini pola kolonial lama yang harus diakhiri,” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Kelautan, Universitas Bremen, Jerman.
Menurutnya, rendahnya daya saing industri nasional disebabkan oleh lemahnya tata kelola, kebijakan ekonomi yang tidak konsisten, serta kualitas SDM yang belum merata.
“Relokasi industri global justru lebih memilih negara lain karena kita belum siap secara infrastruktur, hukum, dan kepastian investasi,” terang Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.
Prof. Rokhmin mengingatkan bahwa tanpa transformasi struktural ekonomi dari konsumsi menuju produksi, dari impor menuju ekspor, serta dari eksploitasi menuju inovasi, Indonesia akan tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia.
“Relokasi industri global justru lebih memilih negara lain karena kita belum siap secara infrastruktur, hukum, dan kepastian investasi,” pungkasnya.