Ikuti Kami

RUU KUHAP, Komisi III Bahas Kapasitas Penyandang Disabilitas Mental sebagai Saksi

Safaruddin menyoroti isu krusial pengakuan kesaksian penyandang disabilitas mental dalam proses hukum.

RUU KUHAP, Komisi III Bahas Kapasitas Penyandang Disabilitas Mental sebagai Saksi
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Safaruddin - Foto: Parlementaria DPR RI

Jakarta, Gesuri.id – Komisi III DPR RI kembali membahas RUU KUHAP dengan menerima masukan dari Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, Senin (29/9/2025), di Gedung Nusantara II, Senayan. Salah satu isu krusial yang disoroti adalah pengakuan kesaksian penyandang disabilitas mental dalam proses hukum.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Safaruddin, menanyakan indikator yang dapat memastikan penyandang disabilitas mental berada dalam kondisi stabil ketika dimintai keterangan atau disumpah sebagai saksi. 

“Apa kira-kira indikator kalau memangnya mau disumpah nanti kan supaya keterangannya itu dimintai keterangan supaya betul-betul (mentalnya) stabil? Harus ada jaminan bahwa itu betul-betul akan memberikan keterangan yang benar. Apa indikatornya kira-kira dari psikiater?” tanyanya kepada psikiater Irmansyah yang turut hadir.

Menanggapi hal itu, Irmansyah menjelaskan bahwa kapasitas seseorang untuk bersaksi tidak boleh ditentukan dari diagnosis medis semata, melainkan kondisi kesadaran pada saat dimintai keterangan. 

“Diagnosis itu hanya suatu kondisi medis, ya tidak terkait dengan kapasitas seorang bisa atau tidak memberikan kesaksian,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa Ikatan Dokter Ahli Jiwa Indonesia (PDSKJI) memiliki SOP untuk menentukan kapasitas seseorang. Indikator yang digunakan, antara lain ketiadaan gejala akut seperti halusinasi atau waham, yang menandakan kondisi mental stabil.

Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas juga menekankan bahwa kapasitas memberikan kesaksian bersifat dinamis, tidak hanya bagi penyandang disabilitas mental, tetapi juga penderita gangguan fisik. 

“Seorang penderita diabetes kalau dia dalam keadaan koma diabetikum, dia (juga) tidak punya kapasitas untuk memberikan kesaksian. Jadi harus dikembalikan pada kapasitas dia,” terangnya.

Karena itu, Koalisi meminta DPR menghindari generalisasi yang menyatakan penyandang disabilitas mental tidak mampu bersaksi. Dengan perkembangan pengobatan modern, mayoritas penderita justru dapat hidup dengan kapasitas yang baik.

“Pencantuman generalisasi seorang penderita gangguan jiwa mengalami kendala dalam memberikan kesaksian, itu saya rasa masih perlu dipertimbangkan ulang,” tutup Irmansyah, seraya menekankan perlunya DPR fokus pada kondisi kapasitas seseorang, bukan pada jenis penyakitnya.

Quote