Ikuti Kami

Aktivis WALHI Bongkar Modus Korupsi SDA: 47 Korporasi Rugikan Negara Rp437 Triliun

Dari laporan itu, kami menafsir kerugian negara mencapai Rp437 triliun. Ini baru 47 korporasi, padahal kasus di lapangan jauh lebih besar

Aktivis WALHI Bongkar Modus Korupsi SDA: 47 Korporasi Rugikan Negara Rp437 Triliun
Aktivis WALHI Uli Arta Siagian - Foto: DPP PDI Perjuangan

Jakarta, Gesuri.id – Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Uli Arta Siagian menegaskan, korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) merupakan kejahatan terstruktur yang berdampak langsung pada kerusakan hutan dan hilangnya relasi masyarakat dengan alam. Pernyataan itu disampaikan dalam Seminar Nasional Hari Antikorupsi Sedunia di Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Selasa (9/12).

Uli mengungkapkan, WALHI telah melaporkan 47 korporasi ke Kejaksaan Agung. Korporasi-korporasi tersebut diduga terlibat korupsi dan pelanggaran izin di sektor perkebunan, pertambangan, serta usaha pemanfaatan hutan. “Dari laporan itu, kami menafsir kerugian negara mencapai Rp437 triliun. Ini baru 47 korporasi, padahal kasus di lapangan jauh lebih besar,” ujarnya.

Selain kerugian materi, Uli menekankan adanya kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang, yaitu hilangnya relasi masyarakat adat dengan hutan sebagai identitas dan ruang hidup mereka. “Ketika hutan hilang akibat korupsi perizinan, hilang pula seluruh nilai budaya, sejarah, dan spiritual yang melekat pada masyarakat,” ungkapnya.

Ia memaparkan berbagai modus yang dilakukan korporasi, antara lain pembalakan liar yang dilegalkan, penyuapan untuk penerbitan izin, hingga pemutihan pelanggaran melalui revisi tata ruang. Modus-modus ini dibiarkan berlangsung bertahun-tahun tanpa penegakan hukum yang memadai.

Uli menyoroti praktik “pemutihan sawit” yang terus terjadi melalui PP Tahun 2012, PP Tahun 2015, hingga Pasal 110–110B dalam UU Cipta Kerja, yang semakin memudahkan perusahaan mengubah kawasan hutan menjadi kebun secara ilegal. “Budaya hukum kita justru membudayakan pelonggaran pelanggaran,” tegasnya.

Ia juga menjelaskan manipulasi dokumen Amdal yang marak terjadi, termasuk dokumen yang tidak sesuai, hasil salin-tempel, dan perusahaan yang tetap lolos izin. Menurutnya, pasca UU Cipta Kerja, fungsi Amdal sebagai instrumen perizinan justru melemah.

Uli mengingatkan bahwa korupsi ekologis adalah bentuk state capture corruption, di mana kebijakan disusun khusus untuk mengakomodasi kepentingan bisnis ekstraktif. “Bencana ekologis bukan bencana alam. Ini bencana yang lahir dari kebijakan yang gagal dan korup,” tutupnya.

Quote