Ikuti Kami

Fatia: Korupsi Sektor Tambang Sebabkan Ekosida dan Pelanggaran HAM di Papua

Kami menemukan adanya relasi kuat antara tokoh politik, aparat, dan perusahaan ekstraktif.

Fatia: Korupsi Sektor Tambang Sebabkan Ekosida dan Pelanggaran HAM di Papua
Pegiat HAM Fatia Maulidiyanti - Foto: DPP PDI Perjuangan

Jakarta, Gesuri.id – Pegiat HAM Fatia Maulidiyanti menyoroti keterkaitan erat antara korupsi politik, bisnis tambang, kerusakan lingkungan, dan pelanggaran HAM, khususnya di Papua. Dalam paparannya di Seminar Nasional Hari Antikorupsi Sedunia, ia menyebut kondisi yang terjadi saat ini sudah masuk kategori ekosida.

Fatia menjelaskan, riset masyarakat sipil yang ia lakukan pada 2021–2022 menemukan pola konsisten: pejabat publik terlibat langsung atau tidak langsung dalam perusahaan pertambangan yang beroperasi tanpa memperhatikan aspek HAM maupun keberlanjutan lingkungan.

“Kami menemukan adanya relasi kuat antara tokoh politik, aparat, dan perusahaan ekstraktif. Inilah yang membuat praktik pertambangan ilegal dan deforestasi tidak pernah benar-benar dihentikan,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2025 yang digelar DPP PDI Perjuangan di Sekolah Partai DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Selasa (9/12).

Ia menegaskan, dampak ekologis dari industri tambang telah membuat masyarakat adat di Papua kehilangan ruang hidup, mengalami kekerasan, hingga terus menerus berada dalam situasi darurat kemanusiaan. “Ketika bencana ekologis terjadi, itu memicu pelanggaran HAM lanjutan. Lingkungan rusak, manusia jadi korban,” katanya.

Menurutnya, imunitas korporasi dan pejabat yang terlibat dalam bisnis tambang terjadi karena lemahnya penegakan hukum. Tidak ada kebijakan tegas yang mampu memberi sanksi pada korporasi maupun pejabat publik yang merusak lingkungan.

“Bahkan ketika kayu-kayu ilegal yang terbawa banjir di Sumatera ada nomornya, tidak ada satupun korporasi yang disanksi. Tidak ada pejabat yang ditindak,” kritiknya.

Fatia juga menyinggung kriminalisasi warga yang terpaksa melakukan penjarahan demi bertahan hidup dalam situasi bencana. “Saat korban frustrasi karena tak dapat bantuan, negara cepat sekali menangkapi warga. Tapi lambat saat harus menyelamatkan rakyat,” ujarnya.

Ia menegaskan negara telah gagal memenuhi kewajiban HAM: melindungi, menghormati, dan memenuhi hak hidup warganya. “Negara masih jauh dari cukup. Bahkan menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional pun tak dilakukan,” tegasnya.

Quote