Jakarta, Gesuri.id - Hari-hari terakhir ini pemberitaan di tanah air dibajiri berita tentang ribuan anak-anak sekolah yang mengalami keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Saya jadi teringat pepatah "Serahkan segala sesuatu kepada ahlinya; Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi."
Pepatah di atas dibenarkan dengan kekacauan yang terjadi di Makanan Bergizi Gratis yang menjadi Makanan Beracun Gratis (MBG) yang telah meracuni ribuan anak-anak adalah kejadian Luar Biasa (KLB) karena penyerahan urusan kepada yang bukan ahlinya.
Jajaran pimpinan Badan Gizi Nasional (BGN) yang bertanggung jawab atas kebijakan dan pengawasan program ini ternyata tidak ada satupun yang memiliki latar belakang atau sertifikasi sebagai ahli gizi.
Belum lagi tentang anggaran yang terlalu besar anggaran yang digelontorkan ke program ini yaitu Rp355 triliun dana pendidikan dipotong untuk biayai MBG namun telah sembilan bulan program ini berjalan setiap harinya semakin jauh dari tujuan mulianya.
Tujuan MBG adalah Untuk meningkatkan asupan gizi anak usia sekolah, menciptakan SDM Indonesia unggul, dan menumbuhkan kebiasaan mengonsumsi makanan sehat sejak dini.
Untuk mencapai tujuan yang mulia tentunya dibutuhkan juga kebijaksanaan dalam pelaksanaannya.
Para Ahli di bidang kesehatan, Ketua DPR RI Puan Maharani, Anggota Legislatif Charles Honoris dan para orang tua telah bersuara lantang menyampaikan bagaimana dan siapa saja pihak yang kompeten dibidangnya dilibatkan seperti yang disampaikan oleh dokter dan ahli gizi dr Tan Shot Yen pada dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IX DPR RI, Senin (22/9/2025).
Harapan para orangtua adalah Presiden dan seluruh stakeholder bersedia mengevaluasi total dan menghentikan sementara program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan pastikan mekanisme pengawasan berjalan ketat sebelum dilanjutkan kembali.
Anak-anak memang berhak diberi makan sehat dan bergizi, tetapi masa depan pendidikan mereka justru dikorbankan.
Saya menilai kebijakan ini justru berpotensi melanggar konstitusi dan HAM anak, oleh karena itu perlunya pemerintah melihat program dengan perspektif perlindungan anak menuju Indonesia Emas 2045 bukannya Indonesia cemas.