Ikuti Kami

Rusuh 22 Mei: Terencana & Sistematis Mengarah Subversif

Melihat eskalasi kerusuhan dengan massa yang ribuan orang seperti itu, bukan tidak mungkin disusupi oknum yang memang menyetting untuk rusuh

Rusuh 22 Mei: Terencana & Sistematis Mengarah Subversif
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (tengah) disaksikan Menko Polhukam Wiranto (kiri) dan Kepala KSP Moeldoko (kanan) menunjukkan barang bukti senjata api saat menyampaikan konferensi pers perkembangan pascakerusuhan di Jakarta dini hari tadi, di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (22/5/2019). Menko Polhukam mengatakan Pemerintah sudah mengetahui dalang dari aksi kerusuhan yang terjadi setelah unjuk rasa di depan Bawaslu dan memastikan aparat keamanan akan menindak tegas secara hukum.(ANTARA FOTO/DHEMAS

SEORANG kawan Anggota Brimob berbagi cerita soal fakta penanganan aksi unjuk rasa 21 dan 22 Mei 2019 di Jakarta.

Kata dia, berbagai fitnah dan hoax yang menyudutkan polisi begitu luar biasa. Pertama, soal penggunaan peluru tajam hingga mengakibatkan jatuh korban meninggal.

Dalam SOP jelas setiap Anggota Brimob dilarang menggunakan peluru tajam. Dalam senjata mereka hanya dibekali peluru karet dan peluru hampa. Dan senjata gas air mata.

Memang ada tim khusus jika sudah terjadi tindakan anarkis, yang beberapa orang Brimob diperbolehkan menggunakan peluru tajam, dan senjatanya ditempel di badan. Bukan dalam kondisi stand by.

Ada pun banyak peluru tajam yang berserakan di jalan saat aksi berlangsung, itu setelah sebuah mobil Komandan Kompi (Danki) Brimob menjadi sasaran amuk massa dan mengacak-acak isinya. 

Berdasarkan SOP, Dankie Brimob boleh membawa peluru tajam untuk kepentingan peleton antianarki dan harus melalui kontrol yang ketat dari danyon (komandan batalion) atau atasan serta langsung melaporkannya kepada Kapolda untuk penggunaannya. Peluru tajam kegunaannya hanya untuk peleton antianarkisme.

Soal penyerangan massa aksi hingga ke dalam masjid, itu jelas fitnah. Mereka para peserta aksi lari ke dalam masjid untuk menghindari gas air mata. Dan membuat video seolah-olah polisi menyerang ke dalam masjid. 

Begitu keji berbagai hoax yang diproduksi sejak aksi 21-22 Mei 2019. Belum lagi viral seorang pengunjuk rasa yang sengaja foto bersama polisi yang menutup setengah wajahnya dengan masker dan terlihat mata sipit dari beberapa personil kepolisian. Teman saya menyebut mereka itu Brimob dari Manado yang didatangkan ke Jakarta. 

Hoax lainnya yang keji adalah jatuhnya korban karena peluru tajam. Kata kawan saya Brimob, coba dilihat lubang di leher itu begitu kecil. Kalau peluru tajam menembak ke arah leher pasti (maaf) daya hancurnya lebih besar. Katanya, dari hasil sweeping ada sebagian peserta aksi yang membawa busur panah. 

Dan sebelum aksi berlangsung, ada senjata laras panjang dengan peredam suara yang biasa digunakan perang dalam kota, disita Kepolisian. Itu baru beberapa yang berhasil digagalkan penyelundupan senjatanya. Pasti ada yang lolos dan belum berhasil disita.

Jadi jangan asal menuduh aparat Kepolisian menembak para korban meninggal tanpa bukti. Tinggal diautopsi saja penyebab meninggalnya. Kalau benar peluru tajam, jenis pelurunya akan ketahuan. 

Melihat eskalasi kerusuhan dengan massa yang ribuan orang seperti itu, bukan tidak mungkin rentan disusupi oknum yang memang sudah menyetting kerusuhan di Jakarta.

Dan benar, pola yang terjadi adalah aksi sejak siang hingga shalat taraweh berjama'ah di depan Kantor Bawaslu dan sekitaran Jl. MH. Thamrin relatif berlangsung tidak terlalu anarkis. Beda dengan aksi yang di sekitar Tanah Abang. Dan dari hasil penangkapan provokator dan pelaku kerusuhan, dari ciri-ciri fisiknya bisa dipastikan mereka bukan dari kelompok peserta aksi damai di Kantor Bawaslu. Dan dari mulut mereka para pembuat rusuh di sekitar Tanah Abang tercium bau alkohol. Badan mereka penuh dengan tato.

Lantas siapakah aktor intelektual pembuat rusuh di Jakarta? Dan kenapa Pemerintah sampai membatasi penggunaan sosial media dengan memperlambat koneksi jaringan? 

Belajar dari kerusuhan berujung kudeta di negara-negara Timur Tengah seperti di Mesir yang dimobilisasi dari Facebook, kemudian di Turki yang digagalkan juga dibakar emosinya dari sosial media.

Dan yang paling parah adalah produksi hoax di Suriah. Foto-foto korban perang saudara di sana bukan sepenuhnya hasil pertempuran, melainkan foto biasa yang diedit menjadi berdarah-darah. Atau foto korban gempa bumi di sebuah negara, diedit dan diviralkan seakan-akan menjadi korban kesadisan lawan politik di Suriah.

Sehingga dengan tersebarnya foto-foto sadis hasil editan tersebut membangkitkan semangat jihad kaum ekstrimis. Dan itu yang coba dimainkan dalam kerusuhan beberapa waktu lalu di Jakarta.

Di grup WA berseliweran broadcast berisi seruan jihad. Ada yang menulis kalimat provokatif dengan mengajak Umat Islam jangan mau dijajah kelompok kafir yang ada di belakang Jokowi. Dan jika memang mati dalam aksi 21-22 Mei, dalam broadcast WA tersebut, mereka mendoktrin: akan mati Syahid dan bau surga sangat dekat.

Ditambahi bumbu-bumbu ada tentara dan polisi China di belakang aparat yang mengamankan aksi 21-22 Mei. Semakin menjadi-jadi kemarahan mereka para kelompok yang selama ini menjadikan hoax-hoax dari broadcast WA sebagai rujukan.

Kembali ke siapa dalang utama kerusuhan di Jakarta dari 21-22 Mei kemarin ini? Tenang saja, Pemerintah dan Kepolisian sudah mengantongi nama-nama aktor utama pembuat rusuh Jakarta yang ingin mengkudeta Pemerintahan sah Jokowi.

Dari fakta yang berkembang di lapangan, sejumlah barang bukti otentik menguatkan adanya jeratan pasal makar dan subversif.

Lebih jelas soal subversif, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, subversi adalah gerakan dalam usaha atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di luar undang-undang.

Gerakan subversif ataupun aksi massa pada dasarnya adalah perang politik. Dan skenario yang biasa dilakukan salah satunya skenario martir atau mencari tumbal. 

Dan sering kita mendengar, konflik horizontal yang terjadi di masyarakat, pasti ada aktor intelektual di belakangnya. Istilah peribahasanya: gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Yang berarti, jika para elite politik berkelahi satu sama lain, maka yang menjadi korban adalah rakyat kecil. 

Salah satu bukti adanya usaha cipta kondisi untuk mengarah ke gerakan subversif adalah beredarnya sebuah video provokatif diduga dilaksanakan di Masjid AL ISLAH, Petamburan, Jakarta Barat beberapa waktu lalu. 

Dari fakta yang didapatkan diduga salah satu provokator adalah anggota Intelijen dari Kesatuan militer yang saya tidak bisa sebutkan. 

Dalam video itu, data yang diperoleh Kepolisian, seorang diduga oknum intelijen tersebut menyampaikan pendapat provokatif yang condong menyudutkan Polri dan memprovokasi untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap Polri.

 Dan jelas, oknum aparat tersebut tidak netral, alias berpihak ke salah satu paslon karena secara kedekatan emosional dengan paslon Capres yang berlatar belakang Militer dan pernah menjadi atasannya.

Yang lebih membahayakan lagi, dalam video itu sang oknum provokator tersebut memprovokasi warga dan umat Islam di masjid yang dihadiri beberapa tokoh masyarakat dan tokoh agama, dengan menyebut sekarang korban meninggal akibat kebrutalan Brimob Polisi kata oknum intelijen tersebut, sudah mencapai 9 orang.

Dan dia mengajak orang-orang yang hadir di situ untuk melawan Brimob dan membalaskan dendam para pengunjuk rasa yang meninggal karena aparat Brimob. Padahal jelas, bisa saja adanya penyusup dalam keramaian massa seperti itu.

Dan ada sebuah video lain yang menunjukkan seorang warga membawa senjata serbu M-4 sama seperti yang dipamerkan Kapolri Jenderal Tito saat menunjukkan hasil sitaan senjata yang diselundupkan secara ilegal untuk dipakai dalam aksi 22 Mei.

Mengutip ucapan Politisi PDI Perjuangan Aria Bima, yang juga Direktur Program Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin. Ia menyayangkan sikap Prabowo-Sandi dan timnya yang abai terhadap kerusuhan yang berlangsung di Jakarta terkait aksi massa 22 Mei 2019.

Sikap ambigu yang ditunjukkan Prabowo-Sandi, kata Aria Bima, seperti mendelegitimasi hasil pemilu dan mendorong pendukungnya untuk bergerak demo di jalanan dengan narasi kecurangan Pemilu 2019.

"Kami sekaligus menyayangkan sikap Prabowo Sandi kemarin abai terhadap situasi yang berlangsung," ujar Aria Bima.

Quote