Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi lll DPR RI yang juga Anggota MPR RI, Dr. I Wayan Sudirta, SH, MH, mengajak mahasiswa PGSD Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa Bali untuk memaknai nilai-nilai Pancasila melalui filosofi Bhagawad Ghita dalam kegiatan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan yang digelar di Gedung PHDI Bali.
“Pandawa kalah, tertipu dalam perjudian, kehilangan kerajaan, dan harus hidup di hutan selama 13 tahun. Namun mereka akhirnya menang karena nilai-nilai itu, serta karena kepemimpinan Yudistira, keberanian Bhima, ketangguhan Arjuna, kesetiaan Nakula-Sahadewa, dan kebijaksanaan Kresna,” kata Sudirta, dikutip pada Senin (15/12/2025).
Dalam paparannya, Sudirta menuturkan bahwa kemenangan Pandawa atas Korawa dalam perang Bharatayudha bukanlah kemenangan instan, melainkan hasil dari proses panjang yang sarat penderitaan, pengasingan, serta ujian moral. Ia menekankan bahwa kemenangan hanya dapat diraih melalui kejujuran, keberanian, pengetahuan, kerja sama, serta dukungan logistik yang kuat.
Menurutnya, nasihat Kresna kepada Arjuna di medan Kuruksetra yang kemudian dikenal sebagai Bhagawad Ghita bukan sekadar ajaran spiritual, melainkan filsafat hidup dan kepemimpinan.
Nilai-nilai tersebut, kata Sudirta, telah menjadi pegangan dalam perjalanan hidup dan kariernya, termasuk dalam dunia advokasi dan politik.
“Kalau ditilik secara mendalam, nilai-nilai dalam Mahabharata dan Bhagawad Ghita sejatinya hidup dalam Pancasila. Karena itu tidak mengherankan jika Bung Karno membaca dan menghayati Bhagawad Ghita,” ucapnya.
Sudirta menjelaskan bahwa dalam berbagai literatur, hubungan ideologis Bung Karno dengan Bhagawad Ghita sangat kuat. Presiden pertama Republik Indonesia itu menginternalisasi ajaran tentang dharma, keberanian moral, serta pengabdian tanpa pamrih ke dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Konsep Karma Yoga—melaksanakan kewajiban tanpa terikat pada hasil—menjadi landasan Bung Karno dalam memimpin perjuangan.
Lebih lanjut, Sudirta menerangkan bahwa ajaran dharma dalam Bhagawad Ghita mempengaruhi cara pandang Bung Karno bahwa kemerdekaan merupakan kewajiban moral bangsa Indonesia. Penolakan untuk berjuang sama artinya dengan menyerah pada ketidakadilan kolonial, sebuah pandangan yang kemudian melahirkan kepemimpinan revolusioner.
Konsep keberanian ksatria, pluralisme, serta pandangan bahwa semua jalan menuju Tuhan pada hakikatnya satu, menurut Sudirta, selaras dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Bhagawad Ghita dinilainya menjadi jembatan antara agama, budaya, dan nasionalisme.
Nilai-nilai tersebut, kata Sudirta, tidak berhenti pada tataran wacana. Ia menceritakan pengalamannya dalam advokasi pembelaan hak tanah bagi pengungsi Timor Timur eks transmigran Bali pascareferendum 1999, yang kala itu dianggap nyaris mustahil.
“Belum ada contoh di dunia pengungsi mendapat tanah dari negara. Tapi perjuangan itu berhasil,” ujarnya.
Moderator kegiatan, Putu Wirata Dwikora, menambahkan bahwa Sudirta bahkan turun langsung membuka semak belukar bersama para pengungsi di Desa Sumberkelampok, Kabupaten Buleleng. Kini, wilayah tersebut dikenal sebagai permukiman pengungsi Timtim yang banyak warganya telah hidup mandiri dan sukses.
“Di tahun 2025 ini, ada anak-anak pengungsi yang sudah menjadi mahasiswa UHN Sugriwa dan aktif di BEM,” jelas Putu Wirata.
Sebagai anggota MPR RI dua periode, Sudirta disebut konsisten melakukan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan kepada berbagai lapisan masyarakat, mulai dari desa adat, pemangku, pengurus PHDI, hingga mahasiswa. Ia menekankan pentingnya Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai fondasi bangsa di tengah tantangan korupsi dan krisis etika elite.
“NKRI tetap berdiri sampai hari ini karena fondasi itu. Perjuangan melawan korupsi dan ketidakadilan tidak boleh berhenti,” tegasnya.
Paparan yang berlangsung sekitar dua jam tersebut juga diisi dialog interaktif. Sudirta membagikan pengalamannya berproses di dunia aktivisme, mulai dari LBH Jakarta di bawah Adnan Buyung Nasution, pendirian Pemuda Hindu dan Bali Corruption Watch, hingga berbagai tim advokasi masyarakat marjinal di Bali.
“Kami berjuang dengan landasan Pancasila sebagai nilai negara, dan nilai-nilai Hindu serta kearifan lokal Bali sebagai fondasi moral. Jangan berkecil hati. Belajarlah dari Pandawa, terus berjuang,” tutupnya.
Di akhir kegiatan, para mahasiswa peserta sepakat membentuk ikatan alumni Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan 13 Desember 2025, dengan penasihat I Nyoman Kenak, SH, Ir. Putu Wirata Dwikora, SH, MH, serta I Nyoman Artana, S.Pd, M.Pd.

















































































