Ikuti Kami

Di RSiS NTU, Kiai Ma’ruf Paparkan Islam Wasathiyah

Kiai Ma'ruf mengatakan hal ini saat memberikan kuliah umum dalam forum Indonesian Leaders Public Lecture Series di RSiS NTU Singapura.

Di RSiS NTU, Kiai Ma’ruf Paparkan Islam Wasathiyah
Calon wakil presiden nomor urut 01, KH Ma'ruf Amin.

Singapura, Gesuri.id - KH Ma'ruf Amin berbicara mengenai Islam Wasathiyah (moderat) saat memberikan kuliah umum dalam forum Indonesian Leaders Public Lecture Series di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University (RSiS NTU) Singapura.

"Komitmen Islam Wasathiyah di Indonesia, beberapa tahun terakhir, merupakan peneguhan ulang implementasi Islam moderat anutan arus utama muslim Indonesia. Hal itu penting sebagai respons atas penguatan dan konsolidasi ekstremisme atas nama Islam, baik kiri maupun kanan, dalam beberapa tahun terakhir," kata Ma'ruf dalam materi kuliah umum yang diterima di Jakarta, Rabu (16/10).

Baca: Djarot: Prabowo Tidak Punya Pengalaman di Pemerintahan

Cawapres nomor urut 01 itu mengatakan sebagai negara berpopulasi muslim terbesar, menganut demokrasi, dan memiliki anatomi demografi yang heterogen, relasi Islam dan negara di Indonesia, memiliki dinamika unik.

Menurutnya, Indonesia tidak menganut teokrasi, yang berpijak pada satu agama tertentu, juga bukan negara sekular yang memisahkan agama dari negara.

Indonesia memiliki konsensus khas dalam mengelola relasi agama dan negara, yang prinsipnya tertuang dalam Pancasila dan Konstitusi. Ia menekankan, Islam Wasathiyah adalah model ekspresi dan pemahaman Islam yang relevan dalam bingkai kenegaraan di Indonesia.

Model relasi Islam dan negara demikian itu, telah menjadi perdebatan panjang sejak sebelum proklamasi kemerdekaan (1945), kemudian mengalami proses pematangan dalam berbagai fase dan pergulatan penting sejarah Indonesia merdeka.

Baca: Hasto: Pose Jari Telunjuk Luhut Bukan Kampanye Terselubung

Perdebatan Islam moderat juga diwarnai beberapa pemberontakan, gerakan protes masyarakat, debat alot di lembaga konstituante yang dihentikan melalui dekrit presiden, hingga makin kukuh sebagai konsensus nasional, setelah amendemen UUD 1945, pada tahun-tahun awal reformasi. 

Ia pun menjelaskan, sejarah semangat Wasathiyah sebagai prinsip moderasi Islam bukanlah realitas baru di Indonesia. Mayoritas umat Islam Indonesia dalam sebagian besar sejarahnya menganut Islam moderat.

"Belakangan ini Islam moderat penting diteguhkan, mengingat ekstremisme atas nama Islam makin menjadi-jadi," jelas Ketua Majelis Ulama Indonesia itu. Dia mengatakan Musyawarah Nasional MUI, Agustus 2015, juga menetapkan Islam Wasathiyah sebagai paradigma pengabdian, dan dituangkan dalam "Taujihat Surabaya".

Hal ini menjadi ruh setiap gerakan MUI di semua tingkatan, panduan pengurus di semua level, dalam merumuskan kebijakan.

Setahun sebelum Munas MUI 2015, ujarnya, ISIS mendeklarasikan diri di Suriah, pada Ramadhan 2014, dan mengampanyekan Khilafah dengan cara perang, di mana berbagai sistem bernegara non-khilafah didelegitimasi, dilabeli sebagai thoghut, dan boleh diperangi. Pengaruh ISIS juga menguat di Indonesia, disusul berbagai aksi teror pendukungnya. Sebelum ISIS, ideologi khilafah yang kontra demokrasi dan nation-state, sudah bermunculan.

Dia menyampaikan ada model non-kekerasan, seperti yang diusung Hizbut Tahrir, ada yang kadang menempuh jalan teror, seperti digerakkan Jemaah Islamiyah (JI), organisasi transnasional, yang memiliki sebaran struktur pengurus di Malaysia, Singapura, Indonesia, Filipina, dan Australia, dan pelaku utama teror pra-ISIS di kawasan ini, sejak awal 2000-an.

Baca: Hasto: Anggota TKN Jokowi-Ma'ruf Harus Bebas Masalah Hukum

Di awal kemerdekaan Indonesia, ada pula gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), serta metamorfosanya di medio-akhir era Orde Baru yakni NII (Negara Islam Indonesia), yang sama-sama kontra nation-state, menghendaki religion-state.

Dia mengatakan semua gerakan itu atas nama tuntutan akomodasi maksimum aspirasi politik Islam. Mereka selalu bertolak, dari asumsi bahwa umat Islam dipinggirkan-dizalimi oleh rezim yang memiliki persepsi anti-Islam, di negeri mayoritas Muslim.

Ma'ruf menekankan gerakan mereka bukan hanya dipicu dinamika domestik-nasional, tapi juga kerap distimulasi dan diprovokasi dinamika global. Baik atas nama solidaritas sesama muslim (ukhuwah Islamiyah) yang terzalimi, maupun atas nama proteksi akidah, sebagai respons atas ekstrimitas dari kutub seberang, berupa gerakan liberalisme keagamaan, yang dinilai mengancam kemurnian akidah.

Quote