Ikuti Kami

Pembuang Sesajen Minta Maaf, Budiman Tekankan Hal Ini

Di Polda Jatim, Hadfana meminta maaf pada seluruh masyarakat Indonesia atas perilaku Intoleran nya tersebut. 

Pembuang Sesajen Minta Maaf, Budiman Tekankan Hal Ini
Hadfana Firdaus, pria yang menendang dan membuang sesajen di lokasi erupsi Semeru.

Jakarta, Gesuri.id - Hadfana Firdaus, pria yang menendang dan membuang sesajen di lokasi erupsi Semeru, Lumajang, telah ditangkap oleh Kepolisian.

Di Polda Jatim, Hadfana meminta maaf pada seluruh masyarakat Indonesia atas perilaku Intoleran nya tersebut. 

Menanggapi permohonan maaf itu, Politisi PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko menyatakan dirinya pernah mengingatkan pada 2019, bahwa cara 'Semburan Dusta' adalah berulang-ulang menyerang dan melecehkan, lalu minta maaf.

"Targetnya? 1. Menyerang berulang-ulang untuk mengurung obyek-obyek kebencian, 2. Minta maaf untuk lari dari tanggungawab. Obyek kebenciannya sudah dikenali," ujar Budiman di akun Twitter-nya, baru-baru ini. 

Baca: Pria Buang Sesajen di Lumajang, Menghina Budaya Lokal!

Budiman melanjutkan, karena obyek kebencian sudah dikenali, maka akan muncul penyerang-penyerang baru yang bekerja dengan cara sama.

Obyek kebencian pun kian rentan jadi sasaran serangan sehingga jatuh nilai sosialnya. 

Sementara para pelakunya, bebas karena sudah minta maaf dengan materai. 

"Itu cara main mereka. Semburan Dusta adalah salah satu bentuk perang gerilya psikologis di era media sosial. Hanya terjadi dalam kondisi: 1. Tiap orang punya akses medsos, 2. Negara hukum dengan penyelesaian di luar pengadilan,3. Ideologi mayoritarianisme, yang berpandangan mayoritas itu istimewa," papar Budiman. 

Mayoritarianisme, sambung Budiman, bukan berdasarkan mayoritas dalam sistem politik liberal yang berdasarkan voting, atau mayoritas dalam sistem kapitalisme, yakni buruh & petani menengah ke bawah. 

Mayoritas yang dimaksud dalam mayoritanisme, menurut Budiman adalah mayoritas dalam kerangka primordial, baik karena agama atau keturunan (ras).

"Mayoritarianisme ini paling ramah mengakomodasi otak manusia yang paling primitif untuk survive dan curiga pada yang beda. Mereka manfaatkan demokrasi untuk bawa aspirasi-aspirasi pra demokrasi dan pra kapitalisme industri, yakni dari era pertanian menetap atau feodal atau perbudakan," ungkap Budiman. 

Karena itu, sambung Budiman, perilaku mereka di lapangan atau media sosial mirip perilaku orang berebut tanah. Tanah dan simbol-simbol agama itu sama-sama 'magis' dalam kesadaran mereka. 

Relasi kuasa antar manusia yang tak setara juga dianggap magis, seperti relasi antara pemilik budak atau tanah dengan budak atau petani penggarap.

"Slogan 'Bumi milik Allah' ditafsirkan secara kasar bahwa di bumi hanya boleh ada 1 Tuan, tak boleh ada Tuan-Tuan lain. Cara manusia melihat kuasa itu seperti saat mereka melihat Tuhan, Tuan Tanah dan pria kepala keluarga, atau kepala unit dasar hak milik pribadi," papar Budiman. 

Baca: Ketiga Kali, YYEP & Banteng Sidoarjo Kirim Bantuan ke Semeru

Aktivis Anti Orde Baru itu melanjutkan, saat ideologi mayoritarianisme ini bertemu buah-buah revolusi industri dan revolusi demokrasi, mereka akan teruskan spirit ekspansi penguasaan tanah. 

Hal ini tampak dalam konflik-konflik agama ribuan tahun dan tak pernah selesai. Semua itu bersumber dari tanah dan 'Tuhan'  yang dianggap boleh ada di tanah itu. 

"Pertanyaan menggelitiknya: saat media sosial terus berevolusi hingga sekarang berbasis ruang (Metasemesta atau Metaverse), apa konsep ruang tanah digital juga akan diinvasi seperti mereka menginvasi tanah analog? Apa cuma boleh ada 1 Tuhan di Metasemesta?," ujar Budiman. 

"Apa di Metasemesta yang tertib sosialnya berbasis blockhain, atau demokratisasi data untuk mendeteksi dusta dan NFT, atau penghargaan pada keunikan manusia dan barang yang artinya penghargaan pada keanekaragaman, masih ada  Semburan Dusta untuk menyeragamkan manusia? Kita lihat aja," pungkas mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik itu.

Quote