Ikuti Kami

Kebangkitan Nasional, Perspektif Melihat Politik Global

Oleh : Adhi Ayoeyanthy, Badiklatpus DPP PDI Perjuangan, Anggota DPP Pergerakan Sarinah. 

Kebangkitan Nasional, Perspektif Melihat Politik Global
Adhi Ayoeyanthy, Badiklatpus DPP PDI Perjuangan, Anggota DPP Pergerakan Sarinah. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Gesuri.id - Penetapan hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei, adalah tanggal saat berdirinya Organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Soetomo dan beberapa Mahasiswa Kedokteran di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA) di Jakarta bersama dengan seorang Dokter senior Wahidin Sudirohusodo.

Perayaan memperingati hari kebangkitan Nasional setiap tanggal 20 Mei, dimulai sejak Presiden Soekarno pada tanggal 16 Desember 1959 menetapkan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 Tentang Hari-Hari Nasional Yang Bukan Hari Libur. Antaralain adalah Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei.

Apa yang bisa kita pelajari dari sejarah  berkumpulnya kelompok muda terdidik dijamannya dalam mensikapi kolonialisme ?

Pertama adalah keinginan untuk memperluas akses pendidikan yg terbuka untuk laki laki dan perempuan dengan menggunakan keyakinan terhadap ilmu pengetahuan sebagai alat perubahan. Walau dalam pendirian awal kesempatan itu ditujukan untuk wilayah dan kelompok masyarakat Jawa, pola kesadaran itu dianggap mampu menginspirasi kelompok masyarakat daerah lainnya untuk mampu mengagregasi kelompoknya dengan berlandaskan ilmu pengetahuan dan jalan perluasan akses pendidikan.

Kedua kesadaran terhadap kondisi kemasyarakatan yg dibawah tekanan pemerintah kolonial dikontruksi dengan ketertiban dan disiplin organisasi. Budi Utomo, sebagai organisasi “modern” pertama yang didirikan oleh Bumi Putera, telah membuat dan memiliki perangkat lengkap sebuah organisasi, seperti; Tujuan, Keanggotaan, Iuran anggota, Aturan Pertemuan dan Rapat, serta Laporan.

Dengan dua modal diatas, pergerakan nasional dilapangan mengalami percepatan pensikapan terhadap kolonialisme. Negara pasca kolonial mulai disiapkan kontruksi pekerjanya dengan perspektif ilmu pengetahuan dan kesetaraan pada akses pendidikan 

Pada prakteknya kesetaraan tadi mengalami hambatan kultural yaitu alam feodalisme, sehingga tradisi bekerja dan bertindak berlandaskan ilmu pengetahuan berhenti jalan ditempat untuk sekelompok warga masyarakat. Solusi yang dipilih masyarakat dalam mekanisme memandang permasalahan sosial yg dialaminya tidak lagi berbasis ilmu pengetahuan, ketika ilmu pengetahuan dipergunakan kelompok utk mengeksploitasi kelompok lainnya.

Visi negara nasional  yang mengakomodir kebhinekaan sebagai organisasi perwujudan harga diri kewarga-negaraan lalu kemudian dipertanyakan. Sehingga ketika kita melihat permasalahan bangsa lain, kita tidak melihat sebagai Indonesia yang utuh. Kita melihat serpihan pernyataan pernyataan kelompok. Kita bisa abai terhadap peristiwa di Libya, di Suriah, di Palestina utk melihatnya sebagai peristiwa kebangsaan yg retak karena tiadanya persatuan. Kita bungkam terhadap kekerasan yang dilakukan pada kelompok kelompok dalam bangsa sendiri. 

Kita hanya sibuk bicara kelompok kita yg layak memimpin dan menginterpretasikan keindonesiaan tanpa mau mendengar fakta pengetahuan yg dipahami serta dipercaya kelompok lainnya. Kita lupa masih banyak kesejahteraan yg harus diselenggarakan berdasarkan riset ilmu pengetahuan. Kesejahteraan yg harus diwujudkan tidak semata dengan mitos, jargon maupun orasi.

Kebangkitan nasional, waktunya kita bertanya : mampukan kita menjadikan nasionalisme kita dipimpin  ilmu pengetahuan. Menggunakan pendidikan kesetaraan sebagai alat utk bangkit kembali sebagai bangsa yang satu dan maju dengan kecerdasannya.

Quote