Ikuti Kami

Once Ungkap Kisah Kelam Lahirnya Royalti Musik Indonesia

Ternyata, sistem ini bukan lahir dari kesadaran internal, melainkan muncul dari tekanan dan amarah besar para musisi dunia.

Once Ungkap Kisah Kelam Lahirnya Royalti Musik Indonesia
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Once Mekel.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Once Mekel, baru-baru ini membuka lembaran sejarah yang tak banyak diketahui tentang sistem royalti musik di Indonesia.

Ternyata, sistem ini bukan lahir dari kesadaran internal, melainkan muncul dari tekanan dan amarah besar para musisi dunia.

Dalam sebuah rapat dengar pendapat di parlemen, Once mengungkap fakta mengejutkan tentang fondasi royalti musik bangsa yang tidak diletakkan oleh niat baik dari dalam negeri, melainkan dipicu oleh tragedi kemanusiaan, tepatnya kelaparan parah di Ethiopia pada era 1980-an.

Baca: Ganjar Ingatkan Anak Muda Harus Jadi Subjek Perubahan

Pria bernama lengkap Elfonda Mekel ini mengawali paparannya dengan satu penekanan penting, yakni hak cipta adalah pondasi utama kemajuan sebuah bangsa.

Ia berargumen bahwa negara-negara adidaya bisa melesat karena mereka lebih dulu memiliki budaya menghargai dan melindungi karya intelektual.

“Kalau kita belajar dari sejarah negara-negara maju, mereka maju pertama kali karena hak ciptanya,” ujar Once, dikutip dari Suara.com jaringan BeritaManado.com, Senin (17/11/2025).

Once kemudian menunjukkan betapa jauhnya ketertinggalan Indonesia.

Ia menyoroti Konvensi Bern tahun 1886, standar perlindungan hak cipta internasional yang sudah lama sekali eksis.

Indonesia, menurut Once, secara sadar memilih tidak meratifikasi konvensi ini setelah merdeka.

Tujuannya strategisnya agar bisa leluasa mengadopsi teknologi dan seni dari luar negeri tanpa terbebani kewajiban membayar royalti.

Sebuah ironi sejarah pun ia suguhkan, di mana saat pemuda Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda pada 1928, di belahan dunia lain, para seniman justru sedang merevisi Konvensi Bern untuk menambahkan perlindungan hak bagi para penampil (performers).

“Bayangkan, saat kita berjuang untuk Sumpah Pemuda, mereka sudah meratifikasi, mereka sudah bikin revisi dari konvensi sebelumnya,” jelas Once.

Titik balik yang paling menentukan, yang ia sebut sebagai puncak dari sejarah kelam ini, terjadi pada pertengahan 1980-an, sebuah masa yang secara tak terduga mengaitkan bencana kelaparan dengan isu royalti.

Once merujuk pada momen bersejarah konser amal “Live Aid” dan lagu “We Are the World” di tahun 1985.

Karya-karya legendaris ini diciptakan musisi dunia untuk menggalang dana bagi korban kelaparan di Ethiopia, dan rekamannya disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Baca: Ganjar Ingatkan Pemerintah Program Prioritas dengan Skala Masif

Namun, dari pemutaran dan penjualan karya amal tersebut di Indonesia, terungkap satu fakta, yakni tidak ada sepeser pun aliran dana royalti yang disetorkan untuk membantu para korban kelaparan.

“Diketahui tidak ada aliran royalti dari Indonesia. Maka dunia musik, dunia, marah-marah sama Indonesia,” tegas Once.

Amarah dan tekanan tanpa henti dari komunitas musik internasional inilah yang akhirnya menjadi cambuk.

Indonesia, pada akhirnya, ‘dipaksa’ untuk mulai serius membangun sistem royalti yang lebih terstruktur dan beradab.

Dampak langsungnya terlihat pada tahun 1990, lahirlah Lembaga Kolektif Manajemen (LKM) pertama di Indonesia, yaitu Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), yang didirikan oleh Candra Darusman dan Enteng Tanamal.

“Baru tahun 1990-an,” tutup Once, sebuah kalimat penutup yang menyiratkan betapa muda dan terpaksa-nya usia kesadaran akan royalti di tanah air.

Quote