Ikuti Kami

My Esti: Tujuan Hidup Bernegara Termaktub di Pembukaan UUD!

Setiap kebijakan yang dibuat oleh siapapun yang terlibat di dalamnya maka 4(empat) tujuan hidup bernegara tersebut adalah penjuru.

My Esti: Tujuan Hidup Bernegara Termaktub di Pembukaan UUD!
Anggota Komisi VIII DPR RI MY Esti Wijayati.

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi VIII DPR RI My Esti Wijayati mengatakan tujuan hidup bernegara termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. 

Setiap kebijakan yang dibuat oleh DPR RI ataupun siapapun yang terlibat di dalamnya maka 4(empat) tujuan hidup bernegara tersebut adalah penjurunya. 

"Seluruh kebijakan harus demikian, termasuk UU tentang Sumatera Barat. Bagaimana kita dapat mengatakan UU ini melindungi, jika kemudian penafsirannya berbeda-beda." kata My Esti dalam seminar nasional secara hybrid dengan tema “Undang-Undang Sumatera Barat Untuk Siapa?” di Tuapeijat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), Minggu (30/10).

Baca: Esti Minta Pemprov DIY Atasi Gejolak Peningkatan Kemiskinan

My Esti Wijayati dalam pemaparannya meyakini bahwa awalnya tujuan UU No. 17 Tahun 2022 adalah baik, namun kemudian ada yang seolah-olah terlupakan dimana Mentawai tidak menjadi sungguh-sungguh diperhatikan di Sumatera Barat, khususnya dengan adanya pasal 5 ayat c.

Sementara Rektor Universitas Negeri Padang Ganefri  mengatakan bahwa ancaman terbesar terhadap bangsa ini berasal dari dalam.

"Potensi kita untuk terbelah sangat mudah kalau kita tidak membentengi diri kita masing-masing mulai dari pribadi, keluarga maupun komunitas masyarakat dan pemerintah tentunya, kita bersyukur memiliki Pancasila yang dipikirkan oleh founding fathers kita yang banyak berasal dari Sumatera Barat telah memikirkan jauh kedepan untuk  menjaga persatuan kita dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia." Katanya.

Mengenai perspektif UU Sumatera Barat, Ganefri mengatakan bahwa banyaknya penafsiran yang berbeda terhadap UU ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam merumuskan UU ini. Lahirnya UU ini dasarnya adalah pemberian otonomi daerah dengan melihat potensi daerah. 

Pasal 3 UU No. 17 Tahun 2022 ini mengikat diri kita sendiri. Bisa kita bayangkan, kalau ada Kabupaten/Kota yang ingin memekarkan diri, kita harus mengubah UU ini terlebih dahulu. Khusus pasal 5 ayat c, Prof. Ganefri mengatakan kalau falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, itu sudah pakaiannya orang Minang, apakah itu pakaian orang Sumatera Barat? Sumatera Barat saat ini tidak semua orang Minang, sebab ada orang Tapanuli, orang Batak, orang Nias. 

Sehingga inilah yang menjadi multitafsir. Padahal, UU yang baik itu adalah UU yang tidak multitafsir, karena sebagian kita menafsirkan ini secara berbeda, seolah-olah orang-orang Sumatera Barat, artinya di Sumatera Barat ini seluruhnya beragama Islam. 

Namun, yang paling penting menurut Ganefri, jangan dengan adanya UU ini menjadi terpecah belah, kalau memang ini masih multitafsir, mari bersama-sama kita dudukkan kembali, agar kita semua bisa menerima. 

Senada dengan Ganefri, Mantan Bupati Kepulauan Mentawai periode 2011 – 2016 dan 2017 – 2022 Yudas Sabaggalet juga mengatakan bahwa UU ini memang multitafsir. Mengapa misalnya di UU Jambi seluruh suku dan budaya yang ada diakui, sedangkan di UU Sumatera Barat tidak? Jelas bahwa, di Sumatera Barat itu berdiam banyak suku dan budaya yang bukan hanya Minangkabau saja.

Sedangkan Anggota Penyatu PMKRI Cabang Padang Laurensius Arliman Simbolon menyatakan setelah terjadinya amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali, ternyata eksistensi pemerintah daerah itu semakin diperkuat, dengan direvisinya dan ditambahkannya beberapa pasal dan ayat dalam batang tubuh konstitusi. 

Namun tetap, pemberian otonomi daerah harus memperhatikan potensi daerah dalam berbagai bidang demi mencapai kesejahteraan masyarakat Sumatera Barat. Perubahan terhadap UU No 61 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat No 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau telah melahirkan 3 (tiga) UU yakni UU No 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat, UU No 18 tentang Jambi dan UU No 19 Tahun 2022 tentang Provinsi Riau. Dinamika yang terjadi adalah pada Pasal 5 ayat c pada UU No 17 Tahun 2022 dimana para pengamat hukum dan aktivis sosial beranggapan bahwa pasal 5c belum mengakomidir semua masyarakat yang berada di Sumatera Barat. 

Baca: My Esti Minta Kirimkan Tim Trauma Healing ke MTsN 19 Jaksel

Pengujian Formil dan Materill UU No 17 Tahun 2022 oleh teman-teman dari Mentawai di Mahkamah Konstitusi kata Laurensius adalah salah satu bentuk protes masyarakat Mentawai terhadap UU ini. 

Poin-poin penting dalam Seminar Nasional PP PMKRI “UU Sumatera Barat Untuk Siapa” ini adalah:
1.    UU yang baik adalah UU yang tidak multitafsir, yang mana semua pihak dapat menerimanya.
2.    UU No. 17 Tahun 2022 mengikat diri sendiri. Pemekaran kota/kabupaten pada pasal 3 di provinsi Sumatera Barat mengharuskan kita untuk mengubah UU tersebut terlebih dahulu
3.    Pasal 5 ayat c, cenderung multitafsir. 
4.    Sumatera Barat tidak hanya dihuni oleh masyarakat Minangkabau, tetapi juga masyarakat Batak, Tapanuli, Nias, Jawa, dan Mentawai.
5.    Perlu perbaikan terhadap UU No. 17 Tahun 2022, sehingga seluruh suku dan budaya yang terdapat di Sumatera Barat tidak terancam keberadaannya (tidak diakui negara).

Quote