Ikuti Kami

Kisah Pilu Hoegeng: Dilarang Soeharto Hadiri HUT Polri & Saksi Nikah Prabowo-Titiek

Panda mengungkap kisah kelam di balik kekuasaan Orde Baru yang menggambarkan betapa feodalnya gaya kepemimpinan Soeharto.

Kisah Pilu Hoegeng: Dilarang Soeharto Hadiri HUT Polri & Saksi Nikah Prabowo-Titiek
Politisi senior PDI Perjuangan Panda Nababan - Foto: Capture Youtube Keadilan TV

Jakarta, Gesuri.id - Politisi senior PDI Perjuangan, Panda Nababan, mengungkap kisah kelam di balik kekuasaan Orde Baru yang menggambarkan betapa feodalnya gaya kepemimpinan Presiden Soeharto. Dalam podcast Keadilan TV, Minggu (9/11), Panda bercerita tentang mantan Kapolri Jenderal (Purn) Hoegeng Iman Santoso yang pernah dilarang menghadiri perayaan Hari Bhayangkara selama bertahun-tahun, hanya karena dianggap tidak disukai oleh penguasa saat itu.

“Apa iya Pak Harto sampai segitunya? Hoegeng yang rumahnya bersebelahan dengan bapaknya Prabowo, Sumitro, sampai menangis peluk-pelukan karena Hoegeng nggak boleh jadi saksi nikah dan hadir di pernikahan Prabowo  Titiek,” ungkap Panda mengenang dalam Podcast Keadilan TV, Minggu (9/11).

Menurutnya, peristiwa itu menjadi simbol bagaimana kekuasaan Soeharto dijalankan dengan rasa curiga dan dendam pribadi terhadap mereka yang berani berbeda pendapat.

Panda menuturkan, larangan terhadap Hoegeng bukan hanya sekali terjadi. Ia bahkan pernah mendapat memo khusus dari istana yang melarangnya hadir di upacara Hari Bhayangkara. “Sudah disiapkan semua, gaspernya dilap, baju seragamnya disetrika, tapi jam sembilan malam datang utusan dari Pak Harto: ‘Pak Hoegeng nggak usah datang,’” ujar Panda.

Cerita tersebut sejalan dengan kesaksian keluarga Hoegeng. Putranya, Aditya Soetanto (Didit), pernah mengungkapkan bahwa ayahnya merasa sangat sedih dan kecewa karena dilarang hadir dalam acara yang seharusnya menjadi kebanggaan bagi seorang mantan Kapolri. “Beliau sangat cinta institusi Polri. Tapi waktu itu cuma bisa diam, kecewa berat,” kata Didit dalam wawancara tahun 2020.

Hoegeng dikenal sebagai sosok jujur dan tegas, yang tidak segan mengkritik praktik-praktik koruptif dan penyalahgunaan wewenang di tubuh pemerintahan. Ia juga menjadi salah satu penandatangan Petisi 50, sebuah pernyataan sikap yang mengkritik kebijakan otoriter Soeharto. Sejak saat itu, nama Hoegeng masuk daftar hitam kekuasaan Orde Baru—mulai dari pembatasan aktivitas publik hingga pelarangan tampil di media.

Bahkan, kelompok musik The Hawaiian Seniors yang dipimpin Hoegeng turut menjadi korban. Grup tersebut dilarang tampil di TVRI setelah petisi itu muncul. “Begitulah Soeharto, feodal sekali,” kata Panda. “Siapa pun yang tidak disukai, entah Ali Sadikin, Hoegeng, atau tokoh Petisi 50 lainnya, langsung dijauhkan dari ruang publik. Ini bentuk kekuasaan yang haus pujian dan menolak kritik.”

Setelah sepuluh tahun tidak diundang dalam upacara Hari Bhayangkara, Hoegeng akhirnya menerima undangan resmi kembali pada 1997 dari Kapolri Jenderal Dibyo Widodo. “Bapak langsung semringah. Seragamnya dijahit ulang, atributnya lengkap,” kenang Didit. Momen itu menjadi simbol kecil dari penghormatan yang sempat dirampas oleh kekuasaan yang menindas.

Panda menegaskan, kisah Hoegeng ini menjadi pelajaran penting agar bangsa tidak kembali memuliakan sosok-sosok yang menyelewengkan kekuasaan. “Kalau sejarah terus dibelokkan, yang jujur seperti Hoegeng malah dilupakan, sementara yang zalim disanjung, maka bangsa ini akan kehilangan arah moralnya,” tutup Panda Nababan.

Quote